Jakarta, jurnalpijar.com —
Di banyak negara berkembang, cuti ayah telah menjadi kebijakan umum.
Kebijakan ini juga dianggap sebagai solusi atas permasalahan anak yatim yang saat ini dikhawatirkan banyak orang. Cuti ayah bagi ayah merupakan kesempatan untuk mempererat ikatan emosional dengan si kecil sejak kecil.
Psikolog anak di Unit Sajiva Anak dan Remaja RSK Jiwa Dharmawangsa Mira Amir mengatakan, cuti ayah bagi ayah sangat bermanfaat.
Kesempatan bagi para ayah untuk berwisata bersama istri dan anak barunya, kata Mira, mempererat bonding antara ayah dan anak.
“[Cuti ayah untuk ayah] itu bagus, karena ayah tidak hanya bilang ‘oh, istrimu harus punya bayi’ dan sebagainya. Dan itu membangun kedekatan dengan bayi yang baru lahir,” ujarnya dihubungi CNNIndonesia com beberapa waktu lalu.
Indonesia juga baru-baru ini menerapkan cuti ayah bagi ayah. Sang ayah kini berhak cuti selama 2-3 hari saat istrinya melahirkan.
Banyak negara telah memberlakukan undang-undang cuti hamil. Misalnya saja di Singapura, seorang ayah boleh mengambil cuti selama dua minggu ketika istrinya melahirkan.
Seperti Singapura, Estonia menerapkan cuti melahirkan selama dua minggu dan cuti orang tua selama 435 hari.
Menurut Mira, fase neonatus atau bayi baru lahir merupakan saat terbaik untuk membangun bonding antara ayah dan anak. Sesi ini berlangsung hingga anak berusia 1,5 tahun.
Tahun ini, kata Mira, hubungan antara anak dan sang ayah sudah terjalin. Ikatan yang aman merupakan landasan penting bagi perkembangan mental dan emosional anak di masa depan.
Kontak fisik antara ayah dan anak juga penting karena berdampak besar dalam membangun kedekatan di antara mereka.
“Tentunya dia [bayi] akan sangat mengenal ayahnya, dia akan membantu dalam perjalanan, dia akan terbiasa dengan suara ayahnya, jika dia menggendongnya atau semacamnya, dia akan hidup,” kata Mira. Ibu perlu bergantung pada ayah.
Selain itu yang terpenting adalah kepercayaan ibu kepada ayah untuk menjaga anaknya.
Menurut Mira, banyak anak yang tidak dekat dengan ayahnya karena ibunya tidak mengizinkannya bermain atau dilindungi oleh ayahnya sejak kecil.
“Terkadang kurangnya keterikatan anak terhadap ayahnya dipengaruhi oleh kurangnya kepercayaan ibu terhadap ayah dalam mengasuh anak,” jelasnya.
Oleh karena itu, sangat penting adanya komunikasi dan kerjasama yang baik antara suami dan istri untuk membangun keluarga yang bahagia. (sya/ashar)
Tinggalkan Balasan