Menu

Mode Gelap

LifeStyle · 14 Jun 2024

Mi Instan dan Generasi yang Dituduh-tuduh


					Mi Instan dan Generasi yang Dituduh-tuduh Perbesar

Jakarta, jurnalpijar.com —

Dengan mie instan, perut Anda bisa kenyang dan kenyang dalam waktu 5 menit. Gen Z juga dikatakan sama: mereka menginginkan segalanya dengan segera.

Kemalasan, menginginkan segalanya dengan segera, terlalu ambisius, dan banyak gambaran populer sering dikaitkan dengannya. Di tengah kehidupan yang semakin menggila ini, Gen Z menghadapi banyak tuntutan berbeda.

Pembuat konten Kahla Khamisa (22) tak memungkiri bahwa dirinya dan rekan-rekannya hidup di dunia serba instan.

“Kami [Gen Z] sudah sangat terbiasa dengan dunia digital,” kata Kahla saat berbicara kepada CNNIndonesia.com, baru-baru ini. Yang paling aku rasakan, kita sudah benar-benar terbiasa ya.

Ibarat mie instan, Gen Z menyukai hal-hal sederhana yang tidak memerlukan banyak usaha. Itu pula yang menyebabkan Gen Z kerap menjadi bahan olok-olok generasi sebelumnya.

Misalnya saja di media sosial, banyak yang menghina Generasi Z. Beberapa akun bahkan berkomentar secara spesifik tentang perilaku Gen Z.

Meski demikian, Kahla tak menampik hal tersebut. Dia membenarkan serangkaian tuduhan yang menargetkan rasnya.

Bagi Kahla, media sosial menjadi faktor utama yang berkontribusi paling besar terhadap tren tersebut. Kurangnya kontak dengan dunia nyata juga dianggap memicu kebencian terhadap Gen Z.

“Perasaan itu [menginginkan semuanya sekaligus] muncul karena saya melihat apa yang saya dapat dari media sosial ya,” aku Kahla.

Gen Z atau yang dikenal dengan Zoomers sedang menjadi perbincangan hangat di masyarakat saat ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mengklasifikasikan generasi Z sebagai generasi yang lahir antara tahun 1997-2012.

Berdasarkan statistik Indonesia tahun 2024, jumlah penduduk Generasi Z atau usia 15-24 tahun mencapai lebih dari 44 juta jiwa.

Generasi ini dikenal sebagai “digital natives” atau mereka yang tumbuh dengan inovasi digital. Mereka sering kali terbiasa dengan berbagai cara mudah sejak usia muda.

Zahrotur Rusyda Hindovan, psikolog Universitas Padjadjaran, tak menampik tudingan negatif yang dilontarkan kepada Generasi Z. Hal ini terus berlanjut, berkat kemudahan teknologi yang mereka rasakan sejak kecil.

Zahrotur saat dihubungi CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu mengatakan, “Peristiwa kehidupan apa yang paling penting bagi Generasi Z? Ada perkembangan teknologi. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa perkembangan teknologi sangat mempengaruhi peristiwa kehidupan paling penting bagi mereka. Generasi Z]”. .

Ada proses yang telah dilalui oleh generasi sebelumnya yang tidak dialami oleh Gen Z.

“Jadi sudah biasa ya, instan,” imbuhnya.

Bukan hanya masalah yang mendesak, hidup di tengah kemajuan teknologi yang membabi buta juga cenderung membuat Gen Z kurang memberikan perhatian. Hal ini membuat mereka sulit fokus pada satu hal dalam jangka waktu yang lama, lanjut Zahratoor.

Misalnya, Gen Z dengan mudah berpindah dari satu tempat kerja ke tempat kerja lainnya. Hal ini jelas berbeda dengan generasi sebelumnya yang kerap memiliki loyalitas tinggi ketika memasuki dunia profesional.

Zahrotur menambahkan: “Generasi Z lebih realistis kan? Mengapa saya harus bekerja di tempat yang sama, padahal di tempat lain gajinya lebih tinggi? Ya, jadi lebih realistis”.

Meski terkesan mudah bosan dan pilih-pilih, menurut Zahratoor, situasi ini justru mendorong Gen Z untuk lebih fleksibel dan terbuka terhadap peluang baru. Mereka dianggap mengalami keterbelakangan mental.

Tak hanya dianggap sebagai generasi terdekat, Gen Z juga dianggap sebagai kelompok yang lemah semangat dan etos kerjanya rendah.

Apa pun alasannya, kata Zahratoor, bisa jadi karena kurangnya latihan dalam menyelesaikan masalah secara mandiri.

Generasi Z memercayai kelebihannya berupa teknologi yang mudah digunakan dan peran dukungan orang tua dalam memecahkan masalah, lanjut Zhartoor.

“Jadi [Gen Z] kurang mendapat pelatihan untuk menghadapi tantangan secara mandiri,” kata Zahratoor.

Faktanya, pengalaman pemecahan masalah adalah hak istimewa untuk mengembangkan keterampilan bertahan hidup dan pemecahan masalah. Itu adalah sesuatu yang tidak dimiliki oleh Gen Z.

Belum lagi peran orang tua yang selalu menyayangi anaknya. Kini, Zohartoor melihat banyak orang tua yang mengambil tugas sulit dari anaknya.

Zahrotur mencontohkan secara sederhana melalui pembayaran listrik. Sebelumnya, seseorang pergi ke suatu tempat secara langsung dan berinteraksi dengan orang lain. Ini mengajarkan seseorang bagaimana memecahkan masalah yang mungkin timbul.

Namun kini, banyak dari tugas tersebut yang dapat diselesaikan secara online dengan bantuan orang tua. Menurut Zohartoor, hal ini mengurangi kesempatan bagi Gen Z untuk mempelajari keterampilan hidup yang penting melalui pengalaman langsung.

Tuntutan lingkungan yang tinggi juga disebut-sebut mempengaruhi kepribadian Gen Z di era sekarang.

Banyak generasi X yang merasa tertekan untuk sukses di usia yang relatif muda. Padahal, kondisi perekonomian jelas semakin sulit.

Jadi ya, kondisi saat ini tumbuh lebih cepat, kondisi ekonomi semakin mahal dan ya, sepertinya generasi Z lebih banyak peminatnya, ujarnya.

Baca selengkapnya di halaman berikutnya.

Artikel ini telah dibaca 2 kali

badge-check

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Apa Saja yang Disunahkan di Tahun Baru Islam?

6 November 2024 - 01:15

Silent Walking, Jalan Kaki yang Diklaim Bagus buat Kesehatan Mental

5 November 2024 - 18:15

Viral Obat Batuk Herbal China Jadi Barang Bawaan Wajib Zayn Malik

5 November 2024 - 15:16

Trending di LifeStyle