Menu

Mode Gelap

Internasional · 20 Sep 2024

Tajikistan Pernah ‘Gusur’ Hampir 2 Ribu Masjid, Ubah Jadi Bioskop-Kafe


					Tajikistan Pernah ‘Gusur’ Hampir 2 Ribu Masjid, Ubah Jadi Bioskop-Kafe Perbesar

Jakarta, jurnalpijar.com —

Tajikistan menarik perhatian minggu lalu setelah meloloskan undang-undang yang melarang penggunaan jilbab.

Dengan ketentuan ini, Tajikistan memperluas larangan berhijab, yang semula ditujukan untuk sekolah dan tempat kerja, hingga mencakup ruang publik.

Faktanya, menurut sensus tahun 2020, 96 persen dari sekitar 10,3 juta penduduk Tajikistan adalah Muslim.

Larangan hijab ternyata merupakan kebijakan anti-Muslim terbaru yang diterapkan pemerintahan sekuler Presiden Emomali Rahman.

Selama hampir tiga puluh tahun berkuasa, Presiden Rahman berupaya mengubah Tajikistan menjadi negara sekuler dan menjauhkan nilai-nilai agama, khususnya nilai-nilai Islam, dari kehidupan publik dan politik.

Presiden Rahman disebut-sebut ingin mempromosikan Islam versi monolitik dengan praktik keagamaan yang dikontrol negara.

Pada tahun 2017, Tajikistan menutup paksa hampir 2.000 masjid di negara mayoritas Muslim tersebut.

Tajikistan menutup masjid selama setahun pada tahun 1938 dan malah membangun pusat kesehatan seperti kafe, bioskop, kedai teh, dan klinik.

Menurut laporan media dari Badan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR), pemerintah Tajikistan mengklaim ribuan masjid telah ditutup atas permintaan warga setempat.

Namun, beberapa partai oposisi percaya bahwa ribuan masjid telah ditutup karena pihak berwenang menganggap masjid “menguntungkan” bagi pandangan negara.

Pembela hak asasi manusia Faiziniso Vohidova mencatat bahwa pemerintah mengatakan masjid-masjid tersebut dibangun secara ilegal. Namun, menurutnya, klaim tersebut tidak sepenuhnya kredibel.

Vohidova juga menemukan pelanggaran lain, seperti banyak masjid yang digusur dan menolak menyampaikan keluhan atau protes kepada pemerintah. Bahkan, ia menolak tawaran beberapa kelompok hak asasi manusia dan pengacara yang menawarkan bantuan hukum untuk memaksa kasus tersebut ditutup ke pengadilan.

“Mereka takut melakukannya,” kata Vohidova dalam laporan Refworld UNHCR pada bulan Maret 2018.

Misalnya, pihak berwenang menggambarkan penutupan masjid di wilayah Sogf, distrik Isfara dan Bobozon-Gofurov di utara atas permintaan penduduk setempat.

Dalam kedua kasus tersebut, pihak berwenang terkait tidak dapat menjelaskan kepada Forum 18 Reefworld mengapa mereka membiarkan kapasitas beberapa masjid dikurangi secara signifikan dengan mengurangi jumlah masyarakat di sekitarnya.

Menariknya, pada saat yang sama, Tajikistan membangun masjid pusat di Duyshomb, ibu kotanya. Masjid ini dikatakan sebagai masjid terbesar di Asia Tengah, dapat menampung 120.000 jamaah sekaligus.

Masjid yang disebutkan The Diplomat ini dibuka pada 2019 setelah delapan tahun dibangun dengan anggaran hingga US$100 juta. Sebagian besar biaya konstruksi dikatakan didanai oleh Qatar.

Masjid pusat besar yang dibangun oleh pemerintah dikelola oleh administrator dan imam yang ditunjuk dan dibiayai oleh negara.

Pemerintah disebut-sebut mendikte atau menyetujui isi khotbah dan ceramah di masjid-masjid yang kerap memuji rezim Rahman secara terang-terangan.

“Pesan yang ingin disampaikan jelas: satu-satunya bentuk Islam yang dapat diterima adalah Islam yang otentik, sangat terpusat dan nasionalis,” kata Tony Perkins, wakil presiden Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS (USCIRF), dalam laporan tersebut. di Diplomat pada Juni 2021. (R/D)

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Tabrakan Kereta di Ceko Tewaskan 4 Orang

20 September 2024 - 07:15

81 Warga Nigeria Tewas dalam Serangan Teroris Boko Haram

20 September 2024 - 05:15

Presiden Baru Taiwan Muncul, Nyatakan Siap Kerja Sama dengan China

19 September 2024 - 10:14

Trending di Internasional