Menu

Mode Gelap

Ekonomi · 21 Sep 2024

Cukupkah 2 Senjata Sri Mulyani Lindungi Sritex Cs dari Tekstil China?


					Cukupkah 2 Senjata Sri Mulyani Lindungi Sritex Cs dari Tekstil China? Perbesar

Jakarta, jurnalpijar.com —

Industri tekstil sedang dalam kesulitan. Bahkan, Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebutkan pada tahun 2023 hingga 2034, industri TPT dalam negeri akan menjadi yang terburuk dalam sembilan tahun terakhir.

Harrison Silaen dari API Human Resources mengatakan banyak faktor, mulai dari pasar, teknologi, hingga regulasi, yang berkontribusi terhadap penurunan industri ritel.

Oleh karena itu, ia menilai jika pemerintah memandang penting persoalan industri TPT, maka harus ada arah yang jelas dalam menyelesaikan permasalahan industri TPT. Harrison mengatakan pengusaha lokal kesulitan bersaing dengan banyaknya produk tekstil impor yang diperbolehkan masuk ke negara tersebut.

“Kita semua bahu-membahu menjaganya, termasuk kelembagaan. Kita menyadari sekitar 20 dinas dan lembaga yang terkait dengan industri TPT mempunyai kepentingan masing-masing,” ujarnya, Selasa (25/6).

Situasi malang produk TPT pertama kali dilaporkan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPN) yang menyebut kinerja penjualan produk TPT akhir-akhir ini mengalami penurunan.

Presiden KSPN Ristadi mengatakan, tingkat pesanan di banyak pabrik tekstil di Indonesia menurun. Akibat penjualan yang buruk, prosesnya harus diperbaiki, salah satunya dengan PHK.

KSPN mencatat sekitar 13.800 pekerja tekstil diberhentikan dari pekerjaannya sejak Januari 2024 hingga awal Juni 2024 akibat permasalahan tersebut. Yang dipecat di Jawa Tengah pun semakin kuat. Dia mencontohkan, banyak pabrik yang terkena dampaknya, seperti raksasa tekstil Sri Receki Isman Group (juga dikenal sebagai Sritex) di Jawa Tengah.

Dia mencontohkan tiga perusahaan grup Sritex yang melakukan PHK dalam jumlah besar. Ada PT Sinar Pantja Djaja di Semarang, PT Bitratex di Kabupaten Semarang, dan PT Djohartex di Magelang.

Untuk menyelamatkan industri kain dari serbuan asing, khususnya asal Tiongkok, pemerintah berencana memberikan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD).

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, langkah ini diambil menyusul permintaan Menteri Perindustrian Agus Gumiwan Kartasasmita.

Oleh karena itu, Menkeu akan menerbitkan sesuai permintaannya (Menteri Perindustrian) dan Menteri Perdagangan (Zulkifli Hassan setelah itu, BMPT dan BMAD akan sesuai permintaan Mendag dan Mendag). , Menteri Perindustrian,” kata Suri di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (25 Juni).

Lantas, apakah BMPT dan BMAD cukup menopang industri TPT dalam negeri?

Nairul Huda, Chief Economic Officer Serios, mengatakan pengenalan BMAD dan BMTP penting namun belum cukup untuk menghidupkan kembali industri TPT dalam negeri.

“Industri TPT (tekstil dan produk tekstil) perlu dilindungi secara maksimal dengan aturan ketat terhadap impor TPT (dan barang lainnya) melalui BMAD atau BMTP,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com.

Selain itu, kebijakan anti-penelantaran (BMAD) tidak akan serta merta diterapkan. Pasti ada fakta yang menyertainya bahwa negara pengimpor seperti Tiongkok sedang menghadapi dumping. Dumping merupakan strategi menjual produk luar negeri dengan harga murah agar dapat menguasai pasar negara tujuan.

“Tapi untuk BMAD, kita perlu bukti bahwa China melakukan dumping terhadap produknya,” tambahnya.

Ia mengatakan, langkah lain juga diperlukan pemerintah, seperti mencari negara yang memiliki saham baru dari luar negeri.

Oleh karena itu, untuk menghidupkan kembali industri TPT, kita perlu memperluas pasar ekspor produk TPT. Jangan hanya bergantung pada satu atau dua negara saja, ujarnya.

Nailul berpendapat ada dua alasan mengapa industri TPT lokal “sakit”. Pertama, produk TPT buatan Tiongkok memiliki harga yang murah, sehingga harganya kompetitif.

Belum lagi bertambahnya produk dari Thailand yang sudah mulai masuk ke pasar tradisional. Ini mengulangi sejarah kemerosotan batik Indonesia pada tahun 1990-an akibat batik cap dari China. Produk TPT kita mungkin akan terpuruk karena produk impor tersebut. , ”jelasnya.

Kedua, penurunan permintaan di Amerika Serikat, pasar tekstil terbesar di Indonesia, seiring dengan penurunan permintaan dalam beberapa tahun terakhir.

Situasi ini semakin diperparah dengan masuknya produk TPT Tiongkok ke negara-negara eksportir. Hal ini pada akhirnya akan berdampak pada penurunan produktivitas dan PHK massal yang berpotensi berdampak pada kecelakaan,” jelasnya.

Senada, Andriy Satrio Nugroho, Direktur Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi INDEF, mengatakan industri tekstil sedang mengalami tekanan baik naik maupun turun.

Di sektor hulu, sebagian besar bahan baku masih diimpor. Hal ini terjadi karena industri penghasil bahan baku industri tekstil belum cukup kuat. Misalnya serat filamen yang diproduksi di industri petrokimia.

Di sektor bawah, barang jadi seperti pakaian, khususnya produk asal China, masuk ke pasar Indonesia dengan menawarkan harga yang lebih murah. Jika situasi ini terus berlanjut maka akan memberikan tekanan pada pekerja industri TPT. Selain itu, industri tekstil merupakan industri padat karya.

Pak Andriy mengatakan, yang bisa dilakukan adalah dengan menerapkan pembatasan dan pembatasan atau larta, dimana ada barang yang dilarang atau dilarang masuk atau keluar daerah pabean. Semua pihak yang berkepentingan harus menanggapi masalah ini dengan serius.

Ia mengatakan perlunya, khususnya Kementerian Perdagangan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), untuk memantau secara penuh produk-produk dari negara lain di pasar yang seringkali harganya tidak masuk akal.

(pta/pta)

Artikel ini telah dibaca 0 kali

badge-check

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Mudahkan Bayar Pajak, Pemprov DKI Jakarta Gandeng 12 Gerai Samsat

21 September 2024 - 07:15

Direksi Bank Mega Syariah Sapa Langsung Nasabah di Hari Pelanggan

21 September 2024 - 04:14

Bos Bappenas Sebut Menu Makan Gratis Bisa Dibawa Pulang

20 September 2024 - 20:16

Trending di Ekonomi