Menu

Mode Gelap

Teknologi

Pakar Ungkap Alarm ‘Kiamat’ jika Aurora Sampai ke Indonesia

badge-check


					Pakar Ungkap Alarm ‘Kiamat’ jika Aurora Sampai ke Indonesia Perbesar

Jakarta, CNN Indonesia —

Fenomena aurora borealis atau aurora borealis di belahan bumi utara dan aurora borealis di belahan bumi selatan menjadi perbincangan warganet Tanah Air selama akhir pekan lalu.

Badai matahari minggu lalu, aurora, disebabkan oleh partikel energik yang bergerak menuju kutub bumi dan bertabrakan dengan atom oksigen dan nitrogen di atmosfer bumi. Beberapa negara melaporkan kejadiannya.

Ahli astrofisika Janna Levin mengatakan partikel energik yang menyebabkan gelombang aurora kini bergerak sangat lambat sehingga fenomena tersebut akan terus berlanjut hingga akhir pekan.

Netizen asal Indonesia tak bisa menyaksikan langsung fenomena malam menakjubkan akibat badai matahari terkuat yang melanda Bumi dalam 20 tahun terakhir ini.

Fenomena ini hanya bisa dinikmati di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, dan Australia. Netizen dalam negeri yang “cemburu” pun mempertanyakan apakah fenomena aurora bisa disaksikan di Indonesia.

Dhani Herdiwijaya, Guru Besar Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB), mengatakan secara historis pertanda sudah terlihat di negara-negara Asia seperti Jepang. Saat itu, orang-orang melihat aurora setelah badai matahari terkuat pada tahun 1859.

Dalam keterangan yang diunggah di akun Instagram Observatorium Bosscha, Dhani mengatakan, Soal sejarah terjadinya aurora, bisa mencapai Jepang (garis lintang 20 derajat), apalagi badai matahari terkuat tercatat pada 1-2 September 1859.

Selain itu, menurut Dhani, aurora juga bisa dilihat dari negara ekuator seperti Indonesia. Namun, menurutnya akan ada risiko besar.

“Selama kekuatan badai lebih kuat dari badai tahun 1859, maka bisa mencapai garis khatulistiwa,” kata pakar fisika matahari ini.

Ia menambahkan: “Tetapi jika itu terjadi di era sekarang, pasti akan terjadi kiamat satelit/kiamat internet, artinya lebih dari 80% satelit akan mati.”

Badai matahari tahun 1859 yang ia sebutkan merupakan tsunami luar angkasa terbesar yang pernah tercatat.

Pada bulan Agustus 1859, para astronom terkejut melihat peningkatan jumlah bintik matahari di piringan Matahari. Di antara ilmuwan tersebut adalah Richard Carrington, seorang pengamat langit amatir dari kota kecil Redhill dekat London, Inggris.

Pada tanggal 1 September 1859, saat merekam bintik matahari, Carrington dibutakan oleh kilatan cahaya yang tiba-tiba. Dia menggambarkannya sebagai “bola lampu putih”. Fenomena ini berlangsung sekitar 5 menit.

Kebakaran ini kemudian disebut Corona Mass Ejection (CME). Dalam 17,6 jam, CME menempuh jarak lebih dari 150 juta kilometer antara Matahari dan Bumi dan melepaskan energinya ke Bumi.

Sehari setelah suar Carrington diamati, Bumi mengalami badai geomagnetik yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menyebabkan kebingungan pada sistem telegraf dan aurora yang tidak biasa di daerah tropis.

Fenomena ini juga dilaporkan sebagai badai matahari terkuat yang pernah ada.

[Gambas: Instagram]

(rni/dmi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Gunung Bawah Laut Ditemukan di Chile, 4 Kali Tinggi Burj Khalifa

3 November 2024 - 07:15

BAKTI Jelaskan Strategi Lanjutan Optimalkan Pemanfaatan SATRIA-1

2 November 2024 - 18:14

Deret Fitur Keamanan Penumpang Gojek dan Grab, Cek Buat Jaga-jaga

2 November 2024 - 14:15

Trending di Teknologi