Jakarta, jurnalpijar.com –
Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengaku sedang mempersiapkan aksi besar-besaran terhadap program Pelestarian Perumahan Rakyat (Tapera).
Presiden KSPI Syed Iqbal menilai penerapan Tapera pada pemerintahan Joko Widodo saat ini belum cukup karena hanya akan menyulitkan buruh dan rakyat.
“Partai Buruh dan KSPI sedang mempersiapkan aksi besar-besaran untuk menolak Tapera, Omnibus Law Cipta Kerja, dan program KRIS untuk jaminan kesehatan,” kata Iqbal, Selasa (29/5) ini.
KSPI membeberkan beberapa alasan mengapa Tapera saat ini tidak layak diterapkan. Pertama, Tapera tidak bisa menjamin seluruh peserta mendapatkan hunian yang baik. Terutama menghitung pembayaran bulanan.
Menurut Iqbal, secara matematis pajak Tapera sebesar 3 persen yang dikenakan sebesar 0,5 persen pada pengusaha dan 2,5 persen pada pekerja tidak cukup bagi pekerja untuk membeli rumah di usia pensiun atau saat terkena PHK.
Saat ini, lanjutnya, rata-rata gaji pekerja Indonesia sebesar Rp 3,5 juta per bulan. Jika dipotong 3 persen per bulan, pajaknya Rp 105 ribu per bulan atau Rp 1.260.000 per tahun.
“Karena Tapera adalah ekonomi kerakyatan, maka tabungan 10 hingga 20 tahun ke depan sebesar Rp12.600.000 hingga Rp25.200.000,” ujarnya.
Pertanyaan besarnya, apakah harga rumah akan Rp 12,6 juta 10 tahun ke depan atau Rp 25,2 juta 20 tahun ke depan? tambah Iqbal.
Itu sebabnya dia menilai daya tarik rumah dengan gaji 3 persen dari gaji bulanan pekerja adalah hal yang mustahil. Ia yakin hanya pekerja yang mampu menanggung biaya tersebut.
Alasan kedua, melalui program Tapera, daya tarik rumah tangga hanya ditingkatkan oleh pekerja. Sementara itu, pemerintah sedang keluar. Memang seharusnya beban ini menjadi tanggung jawab pemerintah sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.
“Dalam program Tapera, pemerintah tidak memberikan iuran apa pun, melainkan memungut iuran dari masyarakat dan pekerja. Ini tidak adil karena perumahan adalah tanggung jawab pemerintah dan hak masyarakat,” ujarnya.
Alasan ketiga, Iqbal Thapera menilai program tersebut harus menghimpun dana masyarakat, khususnya para pekerja, PNS, TNI/Polri, dan masyarakat umum. Ia khawatir pembayaran tersebut menjadi dasar perilaku korupsi yang dilakukan oknum seperti ASABRI dan Taspen.
“Jangan sampai korupsi merajalela di Tapera seperti yang terjadi di ASABRI dan TASPEN. Dengan demikian, dana program Tapera tidak akan terlaksana dengan baik jika tidak ada pengawasan yang ketat untuk mencegah korupsi,” kata Iqbal.
(thr/DAL)
Tinggalkan Balasan