KENAIKAN harga minyak goreng kembali menjadi sorotan di tengah masyarakat Indonesia, meski negara ini dikenal sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Minyak goreng, yang merupakan kebutuhan pokok di hampir setiap rumah tangga, kini semakin sulit dijangkau dengan harga wajar. Kondisi ini menimbulkan ironi tersendiri, mengingat Indonesia seharusnya mampu memenuhi kebutuhan domestik dengan harga terjangkau.
Sejak pertengahan 2024, harga Minyakita—minyak goreng kemasan sederhana yang disubsidi pemerintah—terus mengalami lonjakan. Produk yang seharusnya dijual dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp 15.700 per liter, kini banyak ditemukan di pasaran dengan harga antara Rp 17.000 hingga Rp 20.000 per liter. Fenomena ini terjadi di berbagai daerah, salah satunya di Pasuruan, Jawa Timur, di mana Minyakita dijual seharga Rp 20.000 per liter. Kenaikan harga ini dipicu oleh distributor yang sudah mematok harga Rp 18.000 per liter kepada para pengecer, sehingga pedagang kecil terpaksa menaikkan harga jual ke konsumen.

Dampak dari kenaikan harga minyak goreng ini sangat dirasakan oleh masyarakat, terutama keluarga berpenghasilan rendah dan pelaku usaha kecil. Banyak keluarga harus menyesuaikan anggaran rumah tangga mereka, sementara pedagang kecil di pasar tradisional terpaksa menaikkan harga jual atau mengurangi porsi dagangan agar tetap bertahan di tengah persaingan.
Pemerintah sendiri telah mengambil sejumlah langkah untuk menstabilkan harga minyak goreng, seperti menggelar operasi pasar dan mengancam pencabutan izin bagi distributor yang menjual di atas HET. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil signifikan di lapangan. Harga minyak goreng tetap tinggi, dan distribusi produk bersubsidi seperti Minyakita masih belum merata.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai efektivitas kebijakan pemerintah dalam mengendalikan harga kebutuhan pokok. Di sisi lain, masyarakat berharap agar pemerintah dapat menemukan solusi yang lebih efektif, sehingga minyak goreng sebagai kebutuhan dasar dapat kembali terjangkau dan mudah didapatkan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Kendati pemerintah mengklaim stok Minyakita masih mencukupi, harga minyak goreng kemasan sederhana ini tetap melambung di pasaran. Sejumlah faktor memperumit situasi, mulai dari rantai distribusi yang panjang, praktik bundling oleh distributor, hingga dugaan pengemasan ulang Minyakita menjadi minyak goreng premium atau curah. Kondisi ini semakin menambah beban masyarakat yang sudah kesulitan mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau.
Indonesia sebenarnya memiliki keunggulan sebagai produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar di dunia, dengan produksi pada 2024 mencapai lebih dari 48 juta ton. Namun, sebagian besar hasil produksi tersebut diekspor ke luar negeri. Kebijakan domestic market obligation (DMO) yang mewajibkan eksportir menyisihkan sebagian produksi untuk kebutuhan dalam negeri ternyata belum mampu menekan harga minyak goreng rakyat.
Salah satu penyebabnya adalah harga CPO yang sangat fluktuatif di pasar global. Ketika harga CPO naik, biaya produksi minyak goreng pun ikut meningkat, sering kali melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Dalam kondisi seperti ini, produsen cenderung enggan menjual minyak goreng dengan harga rendah. Mereka mencari berbagai cara untuk tetap memperoleh keuntungan, seperti mengurangi isi kemasan atau menaikkan harga melalui perantara.
Distribusi Minyakita yang seharusnya sederhana pun menjadi semakin rumit. Distributor lini kedua (D2), yang idealnya menyalurkan produk langsung ke pengecer kecil, justru kerap menjual dalam jumlah besar kepada pengecer bermodal besar. Pengecer ini kemudian menaikkan harga sebelum menjualnya kembali ke konsumen akhir. Praktik semacam ini membuat harga minyak goreng di tingkat konsumen semakin jauh dari HET yang ditetapkan pemerintah.
Kondisi ini menunjukkan bahwa permasalahan minyak goreng di Indonesia tidak hanya soal ketersediaan stok, tetapi juga menyangkut tata niaga dan pengawasan distribusi yang belum optimal. Masyarakat pun berharap pemerintah dapat memperbaiki sistem distribusi dan menindak tegas pelaku usaha yang memanfaatkan celah demi keuntungan pribadi, agar minyak goreng kembali terjangkau bagi semua kalangan. (*)