Jakarta, CNN Indonesia —
Rachmat Kaimuddin, Wakil Direktur Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Perkapalan dan Investasi (Kemenkomarves), mengatakan Indonesia masih bergantung pada impor bahan bakar.

Ia mengatakan, selama lima tahun terakhir, yakni 2019 hingga 2023, Indonesia menghabiskan sekitar Rp 251 triliun per tahun untuk impor.
Saat ini, pemerintah menghabiskan rata-rata Rp 120 triliun per tahun untuk subsidi bahan bakar. Menurut Rachmat, jika dukungan bisa tepat sasaran maka anggarannya bisa dikurangi.
Jika hal ini terjadi, anggaran bantuan dapat dialihkan untuk menyediakan infrastruktur dan mengatasi krisis keamanan.
“Rp 120 triliun ini kita berikan sebagai subsidi, kita bakar saja, nyatanya. Tentu ini memerlukan bagian masyarakat untuk infrastruktur, stunting, dan lain-lain,” kata Rachmat dalam Media Briefing Road to Indonesia International Sustainability Forum (ISF ) ) 2024. di Jakarta, Senin (5/8).
Rachmat mengatakan hal ini memprihatinkan. Sebab, selain memboroskan APBN, minyak turut menyumbang pelepasan gas dalam jumlah besar dan polusi.
Ia kemudian mengatakan, satu-satunya solusi terkait pencemaran udara dan emisi gas adalah dengan meningkatkan kualitas bahan bakar sesuai aturan. Maklum saja, kualitas sebagian besar bahan bakar dalam negeri tidak memenuhi standar sulfur EURO 4 atau 50 ppm.
Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Mineral (ESDM) akan melepas minyak baru pada 17 Agustus mendatang saat perayaan HUT RI ke-79. Bahan bakar ini dikatakan ramah lingkungan dan bebas sulfur.
“Kalau kadar sulfurnya rendah maka akan dimulai, tapi sebagai percontohan, 17 Agustus (Agustus) adalah semacam permulaan yang akan dimulai dari sana,” kata Kepala Departemen Komunikasi, Pelayanan Publik dan Kerjasama Kantor dan Kementerian Energi. Sumber Daya Mineral, Agus Cahyono Adi, dikutip Detik, Jumat (7/12).
Menteri Energi dan Mineral Arifin Tasrif menambahkan, pihaknya saat ini sedang mencari produk yang dapat menurunkan kandungan sulfur.
“Makanya kita cari bahan aditif yang bisa turunkan kandungan sulfurnya. Saat ini kita di angka 500 ppm. Kalau standarnya Euro 5, harus di bawah 50. Ada harganya. Tapi kilang kita tidak. belum di Balikpapan,” ujarnya.
(Maret/Agustus)