Menu

Mode Gelap

Teknologi · 25 Mei 2024

Studi Ungkap Krisis Iklim Buat Turbulensi Pesawat Makin Ngeri


					Studi Ungkap Krisis Iklim Buat Turbulensi Pesawat Makin Ngeri Perbesar

Jakarta, jurnalpijar.com –

Penerbangan Singapore Airlines SQ321 mengalami turbulensi parah dalam perjalanan dari London ke Singapura, menewaskan satu orang dan melukai puluhan lainnya. Perubahan iklim disebut bertanggung jawab atas kejadian ini.

Menurut maskapai tersebut, Boeing 777-300ER mengalami turbulensi parah pada Selasa (21 Mei) dan mendarat di Bandara Internasional Suvarnabhumi Bangkok di Thailand pada pukul 15:45 waktu setempat.

Turbulensi biasanya terjadi ketika sebuah pesawat terbang melalui tabrakan dengan udara dengan kecepatan yang sangat berbeda.

Turbulensi ringan hingga sedang dapat menyebabkan penumpang mengencangkan sabuk pengamannya. Sementara itu, turbulensi yang parah dapat mengakibatkan pengendaraan bergelombang dan, dalam skenario terburuk, menyebabkan kerusakan, cedera, dan bahkan kematian.

Sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti di University of Reading di Inggris menunjukkan bahwa krisis iklim memperburuk volatilitas.

 Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Advancing Earth and Space Sciences menemukan bahwa turbulensi parah meningkat sebesar 55 persen dari tahun 1979 hingga 2020 karena perubahan kecepatan angin di ketinggian.

“Proyeksi terbaru kami di masa depan menunjukkan adanya turbulensi parah pada aliran jet selama beberapa dekade mendatang jika iklim terus berubah seperti yang kami perkirakan,” kata Profesor Paul Williams, salah satu penulis studi tersebut.

Meskipun tampaknya ada korelasi yang kuat, diperlukan lebih banyak penelitian, katanya.

“Masih terlalu dini untuk menyalahkan perubahan iklim sebagai penyebab meningkatnya turbulensi baru-baru ini. “Peningkatan liputan media, didukung oleh rekaman video dari ponsel penumpang di pesawat, bisa menjadi salah satu faktornya,” tambah Williams.

Sejak tahun 2013, para peneliti telah melakukan observasi yang menunjukkan adanya jenis turbulensi yang disebut turbulensi udara jernih, yang berbeda dengan turbulensi normal. Gejolak ini terjadi secara tiba-tiba dan sulit dihindari.

Turbulensi udara jernih merupakan bentuk udara kasar yang tidak terlihat dan tidak terdeteksi oleh radar cuaca penerbangan serta sulit diprediksi.

Hal ini tidak ada hubungannya dengan awan dan badai, tetapi sering kali disebabkan oleh pergeseran angin atau wind shear (fluktuasi angin terhadap ketinggian) yang terkonsentrasi pada aliran jet.

Mengutip percakapan tersebut, diketahui bahwa pergeseran angin pada aliran jet telah meningkat sebesar 15 persen sejak satelit mulai melacaknya pada tahun 1979. Peningkatan sebesar 17 hingga 29 persen diperkirakan terjadi pada tahun 2100.

Peningkatan ini terjadi bersamaan dengan perubahan iklim, yang menyebabkan pemanasan lebih lanjut, perbedaan suhu yang lebih besar, dan perubahan angin di bagian atas atmosfer.

Hal ini menunjukkan bahwa turbulensi di udara jernih bisa menjadi cukup parah sehingga menyebabkan risiko cedera yang terjadi dua hingga tiga kali lebih sering dibandingkan turbulensi normal. Kerentanan dirasakan lebih kuat

Sara Nelson, pramugari United Airlines, mengatakan dampak perubahan iklim terhadap turbulensi akan terlihat jelas di tahun-tahun mendatang dan tentunya akan menjadi lebih buruk.

“Tentu saja itu sebuah fenomena, tapi sejak Badai Katrina terjadi peningkatan turbulensi, terutama turbulensi yang datang tanpa peringatan,” kata Nelson, menurut CNN.

Turbulensi udara jernih diperkirakan meningkat secara signifikan di seluruh dunia selama periode 2050–2080, termasuk di banyak kawasan seperti Amerika Utara, Atlantik Utara, dan Eropa.

Oleh karena itu, cara terbaik untuk mengurangi risiko cedera akibat turbulensi adalah dengan selalu mengenakan sabuk pengaman saat duduk.

Menurut Pusat Penelitian Atmosfer Nasional, turbulensi adalah penyebab utama kerugian bagi maskapai penerbangan AS, sebesar $500 juta per tahun.

“Ada skala untuk mengukur seberapa parah turbulensi tersebut,” kata Williams.

Menurut Williams, sekitar 65.000 penerbangan di AS mengalami turbulensi sedang setiap tahunnya, dan sekitar 5.500 penerbangan mengalami turbulensi parah.

Williams memperkirakan jumlah tersebut akan terus meningkat, terutama karena perubahan iklim dapat menyebabkan ketidakstabilan, katanya.

“Kami menjalankan serangkaian simulasi komputer dan menemukan bahwa turbulensi parah bisa berlipat ganda atau bahkan tiga kali lipat dalam beberapa dekade mendatang,” katanya.

(rni/dmi)

Artikel ini telah dibaca 2 kali

badge-check

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Gunung Bawah Laut Ditemukan di Chile, 4 Kali Tinggi Burj Khalifa

3 November 2024 - 07:15

PODCAST: Budi Arie Blak-blakan soal Lima Bandar Judi Online

3 November 2024 - 03:16

Program Sanitasi Era Covid Asal Lampung Raih Penghargaan dari Jepang

3 November 2024 - 02:14

Trending di Teknologi