Jakarta, jurnalpijar.com —
Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan, nilai kerugian negara akibat korupsi perdagangan timah yang semula diperkirakan mencapai 271 triliun euro, nyatanya mencapai 300 triliun euro. Dari jumlah tersebut, Rp271,06 triliun dirugikan negara karena kerusakan lingkungan.
“Hasil perhitungan kantong timah ini cukup fantastis, awalnya kami perkirakan sebesar 271 triliun Euro dan menjadi sekitar 300 triliun Euro. kerugian,” kata Jaksa Agung ST Burhanudin dalam jumpa pers, Rabu (29 Mei).
Berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), nilai kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp300,003 triliun.
Rinciannya, pengembalian harga sewa smelter kepada PT Timah sebesar Rp2,85 triliun, pembayaran bijih timah ilegal kepada mitra PT Timah sebesar Rp26,649 triliun, dan nilai kerusakan lingkungan sebesar Rp271,6 triliun.
Lalu mengapa kerusakan lingkungan atau ekologi menjadi kerugian negara dalam kasus ini?
Pakar lingkungan hidup IPB Bambang Hero Saharjo mengatakan, akibat skandal korupsi yang terjadi di wilayah Bangka Belitung, terjadi kerusakan lingkungan sebesar Rp 271,6 triliun di wilayah tempat ditemukannya pertambangan timah.
Menurut dia, hal itu diperkuat dengan hasil uji laboratorium terhadap sampel tanah dan vegetasi yang diambil dari lokasi penambangan.
“Setelah dilakukan analisa laboratorium, berdasarkan hasil sampel yang kami ambil dipastikan kawasan tersebut mengalami kerusakan,” kata Bambang.
Dari hasil uji laboratorium, nilai kerusakan lingkungan kemudian dihitung senilai Rp271,6 triliun.
Semua perhitungan dilakukan dengan indikator dan parameter yang jelas. Oleh karena itu, Bambang membantah nilai Rp271,6 triliun hanya potensi kerugian.
“Semua itu diukur, bukan diperkirakan, dan parameternya jelas, jadi tidak ada istilah potensi kerugian, benar-benar kerugian total,” jelasnya.
“Kemudian ekologi yang terganggu, kedua ekonomi lingkungan rusak, dan ketiga restorasi yang perlu dilakukan,” imbuhnya.
Bambang menjelaskan kerugian ekologi dan ekonomi yang diakibatkannya merupakan kerugian negara. Menurutnya, jika tidak terjadi kerusakan maka negara bisa mendapatkan keuntungan baik secara ekonomi maupun ekologis.
Daripada memetik manfaat dari peristiwa korupsi ini, negara justru harus memikirkan upaya restorasi lahan yang juga membutuhkan biaya tidak sedikit.
“Kalau tidak dipulihkan siapa yang bertanggung jawab, dari penyidikan yang ada, apa pun alasannya, Pater Tima harus bertanggung jawab atas kejadian itu,” tutupnya.
Dalam kasus korupsi ini, Kejaksaan Agung menetapkan total 22 orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi sistem tata niaga timah di IUP PT Timah. Mulai dari Direktur Utama PT Timah 2016-2021, Mochtar Riz Pahlevi Tabrani hingga Harvey Moeis sebagai perpanjangan tangan PT Rafined Bangka Tin.
(tfq/dmi)
Tinggalkan Balasan