Jakarta, jurnalpijar.com —
Presiden Joko Widodo (Jokowi) geram dengan klaim lembaga pemerintah tersebut. Berdasarkan catatan Jokowi, saat ini terdapat 27.000 permohonan di instansi pemerintah dengan anggaran Rp6,2 triliun.
Jokowi mengatakan kenaikan anggaran ini karena instansi pemerintah terus menciptakan aplikasi-aplikasi baru. Dia mengatakan, setiap ada pergantian ketua kelompok atau ketua wilayah, pasti ada lamaran baru.
“Tadi ada 27.000 permohonan. Kemarin kita cek saat menyusun anggaran, ada Rp 6,2 triliun yang digunakan untuk membuat aplikasi baru. Satu kementerian punya lebih dari 500 aplikasi,” kata Joko dalam konferensi pers Istana Negara di Jakarta, Jumat. Senin (27/5).
Menanggapi hal tersebut, Ekonom Economic and Legal Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan, banyaknya 27.000 lamaran tidak terlepas dari kesadaran diri daerah masing-masing lembaga.
Hooda mengatakan kepada CNNIndonesia.com pada Selasa (28/5): “Angka 27.000 tidak efektif, tapi ada kaitannya dengan ego daerah dan inklusi anggaran.”
Selain itu, menurutnya, pembuatan aplikasi atau website merupakan salah satu proyek yang menghabiskan anggaran digital paling cepat saat ini. Oleh karena itu, ia yakin banyak instansi pemerintah yang berlomba-lomba menciptakan aplikasi baru.
Namun banyak aplikasi baru yang dianggap tidak efektif bagi masyarakat.
“Anggaran yang paling cepat untuk digital itu buat apps/website. Jadi ya, saya kira biasa saja kalau setiap institusi punya app/website sendiri. Ternyata ada 27.000, dan itu tidak efektif,” lanjutnya. .
Di sisi lain, Ketua Lembaga Keamanan Siber CISSREC Pratama Persadha mengaku belum yakin dan menyimpan data terkait 27.000 aplikasi pemerintah.
Namun, dia mengatakan angka tersebut tidak mengherankan mengingat banyaknya lapangan kerja, organisasi, dan layanan pemerintah.
Pratama mengatakan, dari sisi pemerintah, ribuan aplikasi ini memudahkan pekerjaan dan memberikan layanan berdasarkan misi utama dan kegiatan masing-masing organisasi. Namun, dari sudut pandang masyarakat, hal ini sulit dilakukan karena data mereka tidak terintegrasi.
Misalnya, warga menerima layanan medis dan menjalani serangkaian prosedur mulai dari pendaftaran identitas hingga pengobatan. Saat ingin mendapatkan layanan seperti pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM), ia harus memulai lagi dari proses registrasi jika datanya tidak terkoneksi.
“Jika masyarakat ingin memberikan sesuatu kepada unit lain harus memulainya dari awal, seperti mencatat data kependudukan dan sebagainya, meskipun data tersebut diberikan kepada unit lain yang disebut masyarakat yang sebelumnya membidangi pengelolaan,” jelas Pratama.
Aplikasi super bukanlah jawabannya
Untuk mengurangi ribuan aplikasi, pemerintah mengembangkan aplikasi super bernama INA Digital. Semua layanan publik akan ada di aplikasi super ini nanti.
Pada tahap pertama, aplikasi ini akan mencakup layanan seperti BPJS Kesehatan, pengurusan paspor, serta perpanjangan SIM dan STNK.
Hooda berpendapat bahwa keputusan pemerintah untuk memperkenalkan super apps sebagai solusi bukanlah jawabannya. Pasalnya, kata Huda, penyelenggaraan pemerintahan yang masih kacau-balau menjadi biang permasalahan penerapannya.
“Walaupun nanti bisa menjadi aplikasi yang bagus, tapi apa peran pemilik aplikasi/jaringan? Lalu apa peran Kementerian Komunikasi dan Informatika? Ketika sebuah organisasi memiliki otoritas yang luar biasa,” kata Hooda.
“Petanya harus digambar dulu,” ujarnya.
Pratama juga mengatakan, hadirnya aplikasi terintegrasi atau super app akan semakin memudahkan masyarakat dalam menikmati berbagai layanan. Namun, masalah keamanan adalah bagian dari pengelolaan aplikasi ini.
Pasalnya, aplikasi ini mengumpulkan data yang sangat besar karena berasal dari berbagai kementerian dan lembaga. Jadi jika terjadi pelanggaran data, itu masalah besar.
Pratama menjelaskan, “Jika super app ini terkena serangan siber dan menimbulkan kebocoran data, maka akan berdampak fatal karena data yang dimiliki super app ini sangat besar dan berasal dari berbagai organisasi serta pemerintah pusat dan daerah.
Oleh karena itu, Pratama mengatakan, langkah pengamanan harus dilakukan sejak tahap pengembangan aplikasi untuk memastikan bahwa API (antarmuka pemrograman aplikasi) yang digunakan tidak memiliki kerentanan keamanan dan tidak ada kode berbahaya yang dikirimkan ke – secara tidak sengaja yang dimasukkan akibat penggunaannya di dalam. rangkaian program. SDK (perangkat lunak) dan bebas dari bug atau kesalahan pemrograman yang dapat dimanfaatkan oleh hacker. “
Kemudian, data yang disimpan di server harus sangat terenkripsi sehingga ketika data tersebut dirilis, peretas tidak dapat membacanya.
Pratama mengatakan, selain mengandalkan alat keamanan siber, ada juga langkah yang perlu dilakukan, seperti menyimpan cadangan data di database offline untuk melindungi dukungan server utama dan cadangan untuk melindungi dari serangan ransomware; dan terus memperbarui aplikasi untuk mengatasi kerentanan keamanan yang diketahui.
Selain itu, ia meminta para manajer untuk menggunakan pendekatan keamanan berlapis yang menggabungkan berbagai teknologi dan metode keamanan; Menerapkan BCM (Manajemen Kontinuitas Bisnis) dan terus-menerus melakukan simulasi proses BCM untuk memastikan bahwa tidak ada situasi di masa depan. data mungkin memerlukan waktu henti. Pengaturan yang hanya dapat dilakukan oleh orang jenius.
“Penting juga untuk secara teratur dan terus-menerus menilai sistem yang ada untuk mengetahui kerentanan dan kesenjangan keamanan siber,” katanya.
(Bersih/DMI)
Tinggalkan Balasan