Jakarta, jurnalpijar.com —
Suhu dingin di berbagai wilayah Indonesia merupakan dampak dari musim kemarau, termasuk minimnya awan yang mampu memerangkap panas pada malam hingga pagi hari, dan bukan karena fenomena aphelion.
Baru-baru ini beredar beberapa postingan di Facebook tentang fenomena langit aphelion yang menyebabkan suhu bumi menjadi dingin. Dikatakan, dampak fenomena yang terjadi pada Selasa (9/7) pagi ini akan berlangsung hingga Agustus 2024.
Berdasarkan pengamatan, postingan di FB hampir sama atau copy paste. Kalimat pertama selalu diawali dengan, “Bersiaplah menghadapi suhu bumi yang lebih dingin dari biasanya…”
Banyak unggahan serupa yang masih belum tersedia, sementara yang lain tidak. Postingan yang disetujui oleh pengikut atau anggota forum lain hanya dapat diposting ulang di akunnya sendiri.
Situs Kementerian Komunikasi dan Informatika (Cominfo) pun melabeli postingan tersebut sebagai “palsu”.
Berdasarkan catatan, pesan serupa telah disebarkan berulang kali pada tahun-tahun sebelumnya.
Misalnya, menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), pesan siaran akan tersebar di media sosial pada tahun 2023, akibat cuaca dingin yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini akibat jarak terjauh Bumi dari Matahari saat revolusi atau aphelion. periode
“Ya Tuhan, ini tahun 2024. Masih hoax kalau aphelion mendinginkan suhu di Bumi,” cuit akun X @physicguro.
“Jangan malu terlihat miskin, jangan malu terjerumus ke dalam hoax WhatsApp bahwa aphelion mendinginkan suhu bumi,” imbuh akun @infoAstronomy yang tidak memperlihatkan penurunan suhu.
Fenomena aphelion terjadi saat Bumi berada pada jarak terjauh dari Matahari dalam satu kali putaran orbit. Sebab orbit bumi tidak berbentuk lingkaran sempurna melainkan berbentuk elips.
Observatorium Bosch mengungkapkan dalam akun Instagramnya fenomena aphelion terjadi pada Jumat (5/7) pukul 12.06 WIB.
Kebalikan dari aphelion adalah perihelion, yaitu titik terdekat bumi dengan matahari, biasanya terjadi pada awal bulan Januari.
Berdasarkan waktu dan tanggal, pada fenomena aphelion tahun ini, jarak pusat Matahari dan Bumi adalah 152.099.968 km. Saat berada di perihelion, Bumi berjarak 147.100.632 km dari Matahari.
Perbedaan jarak Bumi dan Matahari pada perihelion dan aphelion sekitar 5 juta km atau 3 persen dari jarak rata-rata Matahari ke Bumi.
Menurut pernyataan lembaga tersebut, “perbedaan jarak membuat Matahari tampak lebih kecil/lebih besar, hanya sekitar 3 persen”.
Perlu diketahui, itu (aphelion dan perihelion) tidak berpengaruh signifikan terhadap suhu permukaan bumi.
Senada dengan itu, BMKG dalam keterangan di situsnya menyebutkan fenomena tersebut “tidak berdampak signifikan terhadap fenomena cuaca atau atmosfer di permukaan bumi”.
Lalu kenapa di bulan Juli atau awal musim kemarau selalu dingin?
Fenomena suhu udara dingin BMKG sebenarnya merupakan fenomena alam yang biasa terjadi pada bulan-bulan puncak musim kemarau (Juli – September).
Saat ini Indonesia khususnya bagian selatan masih memasuki musim kemarau. Selama tiga hari terakhir, cuaca cerah hampir mendominasi Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Angin yang bertiup dari arah timur membawa massa udara kering dan dingin dari daratan Australia menuju Indonesia sehingga tidak mendukung pertumbuhan awan. Hal ini akan menghasilkan langit cerah sepanjang hari.
“Akibat tidak adanya tutupan awan pada malam hari, radiasi panas dari permukaan bumi dapat mengalir tanpa hambatan ke atmosfer sehingga mengakibatkan penurunan suhu secara signifikan,” demikian bunyi BMKG dalam prakiraan cuaca mingguan periode 16-22 Juli.
Faktor lainnya adalah angin yang tenang di malam hari mencegah pencampuran udara. “Jadi udara dingin terperangkap di permukaan bumi.”
BMKG menyebutkan daerah dataran tinggi atau pegunungan akan lebih sejuk karena rendahnya tekanan dan kelembapan udara. Ia mengalami fenomena hujan es (hujan es) yang disalahartikan oleh beberapa daerah pegunungan seperti Diang sebagai salju.
“Kondisi dingin ini merupakan fenomena umum yang biasa terjadi pada musim kemarau di Indonesia,” pungkas organisasi tersebut.
(Tim/Arh)
Tinggalkan Balasan