Jakarta, jurnalpijar.com —
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengaku pihaknya mencoba memprediksi kapan gempa akan terjadi. Namun, hasilnya terbukti tidak berhasil.
Dwikorita mengatakan para ahli, termasuk BMKG, belum bisa memprediksi potensi gempa secara akurat. Namun beberapa waktu lalu, kata dia, BMKG mencoba memprediksi potensi gempa, namun akurasinya rendah.
“Upaya itu [prediksi gempa] kita lakukan, tapi karena akurasinya sangat rendah, maka kita tidak publikasikan dan tidak kita gunakan,” kata Dwikorita dalam rapat permusyawaratan (RDP) dengan Komisi V DPR RI di DPR RI. Kompleks, Jakarta yang digelar pada Selasa (27/8).
Sebelumnya, pada tahun lalu, BMKG telah memiliki alat deteksi gempa yang bekerja sama dengan China Institute of Life. Teknologi ini telah diuji pada 250 titik.
Koordinator Sistem Peringatan Dini Gempa Bumi (EEWS) BMKG Sigit Pramono menjelaskan, deteksi dini gempa bukanlah prediksi gempa. Deteksi gempa atau peringatan dini sebenarnya dikeluarkan setelah terjadinya gempa.
“Pertama, perlu diperjelas konsep peringatan dini. Oleh karena itu, peringatan dini gempa bukan merupakan prediksi, dan gempa itu sendiri sudah terjadi. Oleh karena itu, pelepasan energi di episentrum gempa sudah terjadi,” katanya tahun lalu.
Program deteksi dini yang bekerja sama dengan ICL China ini sebenarnya sudah dilaksanakan sejak tahun 2019.
Kemudian Deputi Geofisika BMKG Muhamad Sadan mengatakan, ada beberapa informasi yang dihasilkan sistem EEWS, mulai dari intensitas gempa, waktu tiba, besaran, hingga lokasi gempa.
Menurut Dwikorita, BMKG bersama pihak terkait seperti perguruan tinggi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan lembaga penelitian lainnya telah melakukan serangkaian kajian potensi gempa segmen megaearthquake dan bukan prediksi gempa.
“Yang kita lakukan ini kajian bersama dengan pakar dan pihak lain, misalnya dari perguruan tinggi, BRIN, lembaga penelitian. Untuk mengkaji itu relatif lebih banyak dibandingkan bidang megatrust lainnya,” ujarnya.
Jadi lebih tinggi di Selat Sunda, Banten dan Mentawai-Siberut, jadi bukan prediksi tapi pantauan, jadi diprediksi akan terjadi tsunami, bukan gempa bumi, tambahnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG mengungkapkan, potensi terjadinya gempa besar di dua segmen megaquake tersebut hanya tinggal menunggu waktu saja.
Dua ruas yang dimaksud adalah zona Megathrust Selat Sunda dan Siberut Mentawai. Menurut Daryono, kedua megaquake tersebut termasuk dalam zona seismic rift yang merupakan zona potensi sumber gempa, namun dalam sepuluh hingga ratusan tahun terakhir belum pernah terjadi gempa besar.
Menurut dia, lubang seismik ini sangat perlu diwaspadai karena mampu mengeluarkan energi gempa dalam jumlah besar yang bisa terjadi kapan saja.
Berdasarkan catatan sejarah, gempa besar Selat Sunda terakhir terjadi pada tahun 1757 (usia pecah seismik 267 tahun), dan gempa besar Mentawai-Siberut terakhir terjadi pada tahun 1797 (usia pecah seismik 227 tahun).
Adapun klaim gempa Selat Sunda dan Mentawai-Siberut “hanya tinggal menunggu waktu saja”, menurutnya, hal tersebut dikarenakan kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun tidak mengalami gempa besar, namun bukan berarti tidak terjadi gempa besar. akan terjadi gempa bumi dalam waktu dekat.
Dikatakan ‘hanya tinggal menunggu waktu’ karena sebagian sumber gempa di wilayah sekitarnya telah menimbulkan gempa besar, sedangkan Selat Sunda dan Mentawai-Siberut belum terjadi, jelasnya.
Terkait kapan terjadinya gempa, ia menegaskan, sejauh ini belum ada ahli atau teknologi yang mampu memprediksi waktu, lokasi, dan kekuatan gempa secara akurat.
“Jadi kita tidak semua tahu kapan terjadinya gempa, padahal kita tahu potensinya,” ujarnya. (tim/dmi)
Tinggalkan Balasan