SAMARINDA – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur melalui Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) bersama Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menyelenggarakan Pelatihan Teknis Kredit Karbon Biru dan Prinsip Nilai Ekonomi Karbon (NEK), pada 7 – 9 Oktober 2025 di Samarinda. Kegiatan ini bertujuan memperkuat kesiapan teknis dan kelembagaan daerah dalam mengelola ekosistem pesisir secara berkelanjutan serta mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.
Materi pelatihan mencakup berbagai aspek penting, mulai dari kebijakan nasional dan internasional terkait perubahan iklim, metodologi penghitungan stok karbon di ekosistem mangrove dan lamun, Sistem Registrasi Nasional (SRN) dalam upaya pengurangan emisi, hingga mekanisme pasar karbon di tingkat global dan nasional. Para peserta juga mengikuti sesi praktik penghitungan biomassa, karbon, dan emisi sebagai basis penyusunan Dokumen Rencana Aksi Mitigasi (DRAM).

Provinsi Kalimantan Timur dikenal memiliki wilayah pesisir dan laut yang strategis, yaitu Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya (KKP3K-KDPS) yang terletak di Kabupaten Berau. Melalui Program Koralestari yang didukung oleh Global Fund for Coral Reefs (GFCR), saat ini YKAN berupaya mendukung munculnya sumber-sumber pendanaan inovatif untuk konservasi dan restorasi terumbu karang di Indonesia. Salah satu kegiatan tersebut berupa potensi pendanaan mandiri dari karbon biru di KKP3K KDPS Provinsi Kalimantan Timur.
KKP3K KDPS yang terletak di Bentang Laut Sulu Sulawesi adalah salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia, serta menjadi bagian dari segitiga terumbu karang. Dengan luas lebih dari 285.000 hektare, KKP3K KDPS menyimpan potensi besar untuk pengembangan proyek karbon biru. Studi awal menunjukkan kawasan ini memiliki sekitar 12.000 hektare mangrove dan hampir 2.000 hektare lamun yang berpotensi menyerap lebih dari 69 ribu ton karbon dioksida (CO₂) ekuivalen per tahun.
Jika dikelola dengan baik, potensi ini bernilai ekonomi mencapai sekitar USD 317.000 per tahun (USD 4,6/tCO₂e), dan dapat meningkat dengan memperhitungkan manfaat ekologis seperti perlindungan pesisir, penyediaan habitat penting bagi biota, serta dukungan terhadap mata pencaharian masyarakat pesisir.
Namun, ekosistem mangrove dan lamun di kawasan ini juga menghadapi ancaman serius seperti ahli fungsi lahan untuk tambak, tekanan pariwisata yang tidak berkelanjutan, serta pencemaran. Tanpa intervensi, sekitar 20 persen mangrove dan 35 persen lamun diproyeksikan akan terdegradasi dalam empat dekade mendatang.
Karena itu, Pemprov Kalimantan Timur bersama para mitra mendorong lahirnya skema pendanaan inovatif berbasis NEK melalui perdagangan karbon biru. Skema ini, diharapkan menjadi sumber pembiayaan berkelanjutan bagi pengelolaan kawasan konservasi sekaligus memperkuat kesejahteraan masyarakat pesisir.
“Wilayah pesisir dan laut di Provinsi Kaimantan Timur, terutama KKP3K KDPS adalah aset luar biasa. Bukan hanya kebanggaan masyarakat Berau, tetapi juga simbol komitmen Pemprov Kalimantan Timur dalam menjaga kekayaan alamnya. Melalui kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk YKAN, kami tengah mengembangkan skema pendanaan berkelanjutan melalui retribusi layanan dan perdagangan karbon biru,” terang Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Timur, Sri Wahyuni.
Sri Wahyuni menambahkan, pengalaman Kalimantan Timur dalam program Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) menjadi bekal penting untuk mengembangkan perdagangan karbon biru. “Kami menyadari, membangun sistem perdagangan karbon biru bukan hal yang bisa dilakukan dalam waktu singkat. Tapi dengan kolaborasi dan komitmen, kami yakin Provinsi Kalimantan Timur bisa menjadi pelopor,” imbuhnya.
Senada, Kepala DKP Provinsi Kalimantan Timur, Irhan Hukmaidy menekankan pentingnya penguatan kapasitas sumber daya manusia dalam mengakselerasi implementasi karbon biru di daerah. “Kegiatan ini bukan sekadar pelatihan teknis, tapi investasi jangka panjang bagi masa depan pengelolaan pesisir kita. Kami ingin memastikan bahwa setiap unsur di daerah, baik pemerintah, akademisi, maupun masyarakat memahami konsep dan mekanisme karbon biru secara utuh,” jelasnya.
Saat ini DKP Provinsi Kalimantan Timur telah menyiapkan sejumlah langkah strategis untuk memperkuat kesiapan daerah, termasuk pengembangan sistem data ekosistem pesisir, integrasi dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), serta koordinasi lintas sektor untuk memastikan keselarasan dengan kebijakan nasional.

Mangrove KKP3K KDPS (Sumber foto: YKAN)
Sinergi Lintas Sektor untuk Keberlanjutan
Pelatihan ini didukung dan diikuti oleh perwakilan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, berbagai dinas dan lembaga di tingkat provinsi dan kabupaten, seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan, Dewan Daerah Perubahan Iklim, Dinas Pariwisata, Bappeda, serta perguruan tinggi dan kelompok masyarakat, termasuk pengelola mangrove tingkat desa. Para peserta mendapatkan pembekalan langsung dari para ahli di bidang karbon biru.
Salah satu peserta pelatihan dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Berau, Rabiah Tul Handawiah, mengaku pelatihan ini membuka perspektif baru dalam memahami hubungan antara konservasi dan ekonomi biru. “Selama ini kami lebih banyak bekerja di sisi kebijakan lingkungan, tapi pelatihan ini membuat kami memahami aspek teknis dan ekonomi dari karbon biru. Sekarang kami bisa melihat bagaimana mangrove dan lamun bukan hanya penyerap karbon, tetapi juga aset yang bisa mendukung pembangunan daerah,” ujarnya.
Peserta lain akademisi dari Universitas Mulawarman, Dewi Embong Bulan, menilai pelatihan ini memperkuat sinergi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil. “Ilmu yang kami dapatkan di sini sangat aplikatif. Kami berharap universitas bisa ikut berperan dalam riset dan monitoring karbon biru. Ini momentum bagus untuk mempertemukan pengetahuan akademik dan kebijakan publik,” katanya.
Sementara itu Manajer Senior Ketahanan Pesisir YKAN, Mariski Nirwan, menegaskan pentingnya literasi karbon biru di tingkat daerah. “Kalimantan Timur punya potensi besar, tapi juga butuh pengetahuan yang kuat untuk mengelolanya. Pelatihan ini penting,agar para pemangku kepentingan memahami seluk-beluk mekanisme karbon biru, mulai dari perencanaan hingga implementasi, agar proyek-proyek yang lahir nanti kredibel, berkelanjutan, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.
Mariski menambahkan, proyek karbon biru seharusnya tidak dipahami hanya sebagai komoditas ekonomi semata. “Kita tidak sedang menjual udara atau angka karbon. Kita sedang membangun sistem yang memastikan bahwa setiap ton karbon yang terserap mencerminkan konservasi yang nyata, perlindungan pesisir, dan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat. Dengan kapasitas yang kuat, Kalimantan Timur bisa menjadi contoh bagaimana konservasi dan pembangunan bisa berjalan beriringan,” pungkasnya. (Rilis)
***
Tentang YKAN
Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) adalah organisasi nirlaba berbasis ilmiah yang hadir di Indonesia sejak 2014. YKAN memberikan solusi inovatif demi mewujudkan keselarasan alam dan manusia melalui tata kelola sumber daya alam yang efektif, mengedepankan pendekatan non konfrontatif, serta membangun jaringan kemitraan dengan seluruh pihak kepentingan untuk Indonesia yang lestari. Untuk informasi lebih lanjut kunjungi www.ykan.or.id.
Tentang Koralestari
Koralestari bertujuan membantu mengatasi kurangnya pendanaan terkait konservasi dan restorasi terumbu karang melalui skema pendanaan inovatif dan investasi ke usaha-usaha yang ramah terumbu karang. Solusi pendanaan inovatif ini meliputi karbon biru, asuransi terumbu karang, pendanaan mandiri kawasan konservasi perairan melalui BLUD, pengembangan komoditas berkelanjutan, dan pembentukan fasilitas pendanaan usaha berbasis masyarakat. Program ini berlangsung dari tahun 2024 hingga 2029 dengan lokasi di Laut Sawu, Provinsi Nusat Tenggara Timur, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur, dan Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau.