Jakarta, jurnalpijar.com –
Musim kemarau tahun 2024 diperkirakan akan kering meskipun kemungkinan besar terjadi fenomena cuaca La Niña. Bagaimana bisa
Seperti La Nina, El Nino. El Niño merupakan bagian dari Osilasi Selatan (ENSO), serangkaian anomali atmosfer yang berpusat di Samudera Pasifik tropis.
Singkatnya, La Nina, kondisi lautan yang lebih dingin dari biasanya (minus 0,5 derajat Celsius atau kurang), menyebabkan lebih banyak hujan di Indonesia dan berbagai negara lainnya.
Saat ini El Nino, ketika suhu lautan lebih hangat (di atas 0,5 derajat Celcius), iklim menjadi lebih kering dari biasanya.
Dwikorita Karnavati, Kepala Badan Meteorologi, Meteorologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan saat ini El Nino sudah berakhir ‘fixed’ dan ENSO juga netral.
“Sekarang lagi-lagi netral. Jadi bukan lagi El Nino, karena sudah netral,” ujarnya dalam konferensi pers online, Jumat (31/5).
Dia mengatakan fase netral ENSO akan berlanjut hingga periode Juni-Juli.
Selanjutnya pada periode Juli-Agustus-September 2024, ENSO yang netral diperkirakan akan mengalami transisi ke fase La Niña lemah yang berlangsung hingga akhir tahun 2024, lanjut Dwikorita.
Itu menurut perkiraan dari AS. Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), La Nina memiliki peluang sebesar 49 persen untuk berkembang pada bulan Juni-Agustus atau Juli-September (peluang 69 persen).
Pada saat yang sama, Indonesia dilanda musim kemarau yang lambat laun menyebar ke seluruh wilayah. Saat ini 19 persen wilayah Indonesia sudah resmi memasuki musim kemarau, kata Dwikorita.
Yaitu sebagian Aceh, sebagian Sumatera Utara, sebagian Riau, sebagian Jawa Barat, dan sebagian Yogyakarta.
Dengan kondisi La Nina, apakah ada kemungkinan terjadi musim kemarau basah?
Sayangnya, kata Dwikorita, La Niña yang akan segera muncul diperkirakan dalam kondisi lemah. Akibatnya, pengaruh terhadap curah hujan pada musim kemarau tidak signifikan.
Fenomena La Nina yang lemah diperkirakan tidak akan berdampak pada musim kemarau mendatang, jawabnya.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Klimatologi BMKG Ardhasena menjelaskan, La Niña yang selalu mengikuti fenomena El Niño tidak banyak berkontribusi terhadap kondisi kekeringan akibat kekeringan.
“Khusus La Nina tahun ini, yang diperkirakan terjadi pada kategori La Nina lemah, seperti saya sampaikan, dampak kekeringan kita tidak akan terlalu membantu,” jelasnya.
Ia juga memperingatkan dampak kekeringan “yang akan terjadi pada musim kemarau dalam beberapa bulan ke depan.” Kondisi kering
BMKG menyebutkan musim kemarau saat ini belum merata di setiap provinsi.
Artinya di wilayah itu masih ada dua musim, masih ada banjir, tapi ada juga titik api, jelas Dwikorita.
“Antara lain, misalnya dipisahkan oleh kondisi geografis, seperti Perbukitan Barisan, di bagian barat masih mungkin turun hujan, sedangkan di bagian timur mulai kering.”
Hingga saat ini, beberapa wilayah masih terkena dampak cuaca ekstrem akibat beberapa fenomena cuaca dan aktivitas gelombang, antara lain Madden Julian Oscillation dan Rossby Equatorial.
Dwikorita mengungkapkan kekeringan kemungkinan akan semakin parah pada akhir tahun.
Ia mengatakan, prakiraan curah hujan dan sifat curah hujan bulanan akan menyebabkan kondisi kering pada musim kemarau hingga September.
Pada periode Juni-Juli-Agustus, BMKG mengungkapkan wilayah seperti Lampung, Jawa, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan sebagian Sultra kemungkinan akan mendapat curah hujan sangat rendah, yakni kurang dari 50 mm per bulan. . .
Pada bulan September, pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT diperkirakan masih menerima curah hujan kurang dari 50 mm per bulan.
Pada bulan Oktober, kondisi serupa diperkirakan terjadi di wilayah Jawa Timur, NTB, dan NTT.
“Jadi Jawa Timur, disusul Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur tampaknya curah hujannya sangat rendah atau kurang dari 50 mm per bulan, mulai bulan Juni dan berlanjut hingga Juli dan Agustus, bahkan September dan Oktober,” jelasnya.
“Nah, harus dipersiapkan,” tegas Dwikorita.
(rni/arh)
Tinggalkan Balasan