Menu

Mode Gelap

Teknologi · 26 Sep 2024

Bisakah Gempa Megathrust Selat Sunda Picu Erupsi Gunung Anak Krakatau?


					Bisakah Gempa Megathrust Selat Sunda Picu Erupsi Gunung Anak Krakatau? Perbesar

Jakarta, jurnalpijar.com –

Zona megathrust di Selat Sunda dinilai berbahaya karena mampu memicu gempa bumi dahsyat yang memicu tsunami. Mungkinkah dia yang menyebabkan Gunung Unk Krakatau meletus?

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah mengeluarkan peringatan kemungkinan gempa bumi akibat dua megathrust di Indonesia yang sudah lama tidak mengeluarkan banyak energi.

Salah satunya adalah Megathrust Selat Sunda yang terletak di Samudera Hindia, selatan Bengkulu, di Lampung, selatan Jawa Barat.

Megathrust di Selat Sunda memiliki panjang 280 km, lebar 200 km, dan slip rate 4 cm per tahun. Tercatat sebagai “letusan” pada tahun 1699 dan 1780 dengan magnitudo 8,5.

Selain itu, ada pula Mentawai-Sybert Mega Knock yang juga mempunyai kemampuan mengeluarkan energi, meski belum diketahui kapan hal itu terjadi.

Namun megathrust di Selat Sunda lebih menyita perhatian, selain dekat dengan DKI Jakarta juga dekat dengan Gunung Anak Krakatau. Gunung ini menjulang di atas permukaan laut setelah letusan Gunung Krakatau pada tahun 1883.

Peta Sumber dan Bahaya Gempa Bumi Indonesia tahun 2017 yang disusun oleh Pusat Penelitian Seismologi Nasional menunjukkan bahwa wilayah tersebut merupakan rumah bagi gunung berapi aktif, dengan letusan paling dahsyat terjadi pada letusan Gunung Krakatau tahun 1883.

Struktur bagian dalam kawasan ini berupa parit dengan arah relatif utara-selatan.

Graben adalah istilah ilmiah untuk retakan pada kerak bumi yang terletak di antara dua punggung bukit yang tinggi.

Kombinasi megathrust di Selat Sunda dan Gunung Anak Krakatau dapat melipatgandakan dampak bencana tersebut.

Lalu apakah gempa besar di Selat Sunda bisa menyebabkan Gunung Unk Krakatau meletus?

Pakar Siaga Bencana Geologi Surono atau biasa disapa Mbah Rono mengatakan, gempa bumi, meski berkekuatan besar, belum tentu menyebabkan letusan gunung berapi.

Ia mencontohkan gempa Sumatera berkekuatan 9,1 skala Richter pada tahun 2004 yang menimbulkan tsunami di Aceh namun tidak mengaktifkan gunung berapi di Sumatera.

Surono mengatakan Lindu hanya bisa memicu letusan gunung berapi jika memenuhi syarat tertentu; Kantong magma penuh dan bertekanan tinggi.

“Gempa terjadi, [gerakan] gunung bertambah jika kantong magma penuh dan ada tekanan tinggi di dalamnya. Kalau diganggu dari luar, ada gempa ya maledos [letusan]. Jika kantung fluida tidak penuh dan magma tidak bertekanan tinggi, maka gempa bumi akan terjadi, berapa pun ukurannya. “Tenang saja,” kata Mbah Rono saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (16/8).

Jadi tidak selalu gempa berarti gunung harus meletus, seperti yang terjadi pada kantong batuan beku di masa lalu, lanjutnya.

Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) pun dalam penjelasannya menyatakan bahwa dalam beberapa kasus, gempa tektonik justru dapat menyebabkan letusan gunung berapi.

Beberapa gempa bumi regional yang besar (lebih besar dari M 6) diperkirakan terkait dengan letusan berikutnya atau semacam gangguan pada gunung berapi di dekatnya.

Namun, letusan gunung berapi hanya dapat terjadi akibat gempa tektonik di dekatnya jika gunung berapi tersebut siap meletus, kata USGS.

Badan tersebut menambahkan, agar gunung berapi bisa meletus, setidaknya ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk terjadinya gempa.

Pertama, magma meletus dengan mudah di sistem vulkanik. Kedua, tekanan signifikan di tempat penyimpanan magma.

Mirzam Abdurchaman, ahli vulkanologi Institut Teknologi Bandung (ITB), menjelaskan gempa tektonik dapat berdampak pada gunung berapi dalam keadaan tertentu.

Artinya, gunung berapi rapuh, dalam hal ini berstatus peringatan atau waspada, ditandai dengan peningkatan aktivitas seperti gempa vulkanik, mata air kering, serta peningkatan pelepasan gas dan letusan kecil.

Ia menambahkan, dalam situasi kritis, gas terlarut atau magma dalam jumlah besar akan mudah lepas jika korek api dinyalakan, seperti saat terjadi gempa bumi.

Ia mencontohkan letusan Gunung Fuji di Jepang pada 28 Oktober 1707 yang diakibatkan oleh gempa tektonik. Saat itu, gempa bumi dahsyat berkekuatan 8,6 skala Richter mengguncang pantai Jepang di sepanjang megathrust Nakai di barat daya Jepang.

“Ini adalah salah satu gempa bumi terbesar dalam sejarah Jepang yang menewaskan lebih dari 5.000 orang. Kekuatan gempa ini hanya dilampaui oleh gempa Tohoku pada tahun 2011. – kata Mirzam merujuk pada situs resmi ITB.

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Dariono mengatakan pada tahun 2019 peningkatan aktivitas gunung berapi memang rentan terhadap guncangan gempa.

Jadi, menurut Dariono, secara tektovolkanik, aktivitas tektonik sebenarnya bisa menumbuhkan gunung berapi. Namun tidak semua aktivitas tektonik dapat meningkatkan aktivitas vulkanisme.

Hanya gunung aktif yang dapat meletus akibat pengaruh gempa bumi. Hal ini karena magma kaya akan cairan dan gas. Dalam kondisi seperti itu, letusan gunung berapi dapat dengan mudah memicu gempa tektonik.

Gempa bumi tektonik dapat meningkatkan tegangan yang dapat menyebabkan perubahan tekanan gas di kantong magma sehingga menyebabkan terbentuknya gas yang kemudian memicu terjadinya letusan. Namun, temuan empiris diperlukan untuk membuktikan hubungan ini.

(Band/DMI)

Artikel ini telah dibaca 3 kali

badge-check

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Gunung Bawah Laut Ditemukan di Chile, 4 Kali Tinggi Burj Khalifa

3 November 2024 - 07:15

PODCAST: Budi Arie Blak-blakan soal Lima Bandar Judi Online

3 November 2024 - 03:16

Program Sanitasi Era Covid Asal Lampung Raih Penghargaan dari Jepang

3 November 2024 - 02:14

Trending di Teknologi