Jakarta, jurnalpijar.com —
Kontroversi kenaikan harga uang sekolah seragam (UKT) di berbagai perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia kini menjadi sorotan.
Bahkan, mahasiswa di sejumlah kampus di Indonesia juga ikut melakukan protes terhadap kenaikan UKT yang dianggap tidak masuk akal.
Meningkatnya biaya UKT di berbagai perguruan tinggi negeri tidak lepas dari status perguruan tinggi negeri yang berbadan hukum (PTN BH). Dengan status PTN-BH, kampus mempunyai kewenangan dalam pengelolaan sumber daya, termasuk penentuan biaya pendidikan.
Tidak hanya dalam hal biaya pelatihan, PTN-BH juga memiliki fleksibilitas dalam bentuk akuntansi. Mereka juga mempunyai ruang untuk menentukan program-program yang dibuka di kampusnya.
Hal itu disahkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 2 Tahun 2024 tentang Standar Biaya Operasional Perguruan Tinggi (SBOPT) pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Permendikbud ini juga disebut-sebut menyebabkan kenaikan UKT PTN-BH di Indonesia yang bombastis.
Dalam aturan tersebut, hanya UKT 1 kelompok Rp 500 ribu dan UKT 2 Rp 1 juta saja yang menjadi standar minimal yang harus dimiliki PTN. Jika tidak, besaran UKT ditentukan oleh masing-masing universitas.
Komersialisasi kampus PTN-BH
Koordinator Nasional Jaringan Pengawasan Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji berpendapat, akar permasalahan UKT sebenarnya adalah pengkajian lebih dalam terhadap aturan PTN-BH.
Menurut Ubaid, tidak dapat dipungkiri bahwa ‘spirit’ PTN-BH adalah privatisasi dan komersialisasi kampus. Hal itu, kata dia, dilakukan agar kampus bisa mendapatkan uang untuk biaya operasional. Ia pun membandingkan PTN-BH dengan pengelolaan PTN di masa lalu.
“Dulu kampus tidak boleh punya lapangan kerja, untung dan sebagainya karena dibiayai negara, tapi sekarang mau diubah sistemnya, mau dorong jadi PTN-BH, sekarang jadi PTN-BH. diperbolehkan dan dilegalkan untuk beroperasi, bahkan wajib, karena kalau tidak, “secara bisnis dia punya kemampuan untuk membiayai kampus,” kata Ubaid saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (21/5).
Ubaid juga mengatakan, sejauh ini belum ada fakta atau bukti yang menunjukkan aturan PTN-BH membuahkan hasil yang baik.
Padahal, kebijakan tersebut sudah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi lebih dari sepuluh tahun lalu.
Berdasarkan hal tersebut, Ubaid menilai kebijakan PTN-BH sebaiknya dihapuskan. Sebab siswa lebih banyak merasakan pengaruh negatifnya.
“Tidak perlu PTN-BH, cukup kembali menjadi perguruan tinggi negeri, karena PTN-BH sudah ada sejak tahun 2012, sekarang tahun 2024, sudah lebih dari 10 tahun, dan kita bisa lihat dampaknya. , ” dia berkata.
“Kok saya tidak melihat dampak positifnya, yang terlihat, yang sebenarnya dirasakan oleh siswa adalah dampak buruk dan menyempitnya akses terhadap pendidikan,” imbuh Ubaid.
Lebih lanjut Ubaid mengatakan, melalui kebijakan PTN-BH ini, kampus tidak lagi fokus pada tujuan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebab, fokus utama kampus adalah bagaimana mencari dana untuk memenuhi segala kebutuhan operasional.
“Jadi yang kita anggap uang-uang-uang, ‘karena kita tidak punya uang-uang-uang, kita harus berbisnis dengan mahasiswa’, melalui skema UKT yang jelas menguntungkan,” ujarnya.
Bantuan operasional kampus
Secara terpisah, Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sekaligus pengamat pendidikan Cecep Darmawan menilai kenaikan UKT yang dituding tidak rasional tidak lepas dari rendahnya dukungan operasional terhadap perguruan tinggi, termasuk PTN-BH.
Karena bantuan operasionalnya terbatas, kata dia, PTN-BH diberikan keleluasaan untuk mencari pendanaan tambahan. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari kolaborasi penelitian, inovasi, paten dan lain sebagainya.
“Tapi tidak semua PTN-BH bisa tuntas. Yang bisa diandalkan, tapi mereka tidak benar-benar bertahan, jadi mari kita tutup operasionalnya, terakhir UKT,” ujarnya.
Čecep menilai, sebenarnya tidak ada yang salah dengan aturan PTN-BH. Sebab, mahalnya harga UKT bukan karena status kampus tersebut sebagai PTN-BH.
“Jadi di sini sebenarnya bukan hanya PTN-BH saja, jadi jangan salahkan (karena) PTN-BH itu mahal, tidak mahal karena statusnya berubah, tidak, mahal karena bantuan pemerintah sangat sedikit,” ujarnya.
Baca halaman berikutnya
Tinggalkan Balasan