Jakarta, jurnalpijar.com —
Badan Pusat Statistik (CBS) mencatat hampir 10 juta orang berusia 15-24 tahun (Gen Z) tidak bersekolah, bekerja atau mengikuti pelatihan (NEET).
Rinciannya, dari 44,4 juta penduduk usia 15-24 tahun pada Agustus 2023, sekitar 22,5 persen atau 9,98 juta jiwa termasuk dalam kategori NEET. Meski tergolong tinggi, angka tersebut mengalami penurunan sebesar 0,97 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Jika dilihat dari tempat tinggalnya, jumlah NEET lebih tinggi di perkotaan, yaitu 5,23 juta jiwa, dibandingkan 4,65 juta jiwa di perdesaan.
Selanjutnya berdasarkan gender, mayoritas adalah perempuan sebanyak 5,72 juta orang dan laki-laki sebanyak 4,16 juta jiwa.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fawzia pun angkat suara terkait isu tersebut. Menurut dia, penyebab utama tingginya angka pengangguran pada kelompok ini adalah karena mereka yang masih mencari pekerjaan dan belum mendapatkan pekerjaan.
Secara rinci, dia mengatakan, pengangguran berusia 18 tahun merupakan lulusan SMA/SMK, sedangkan pengangguran berusia 24 tahun merupakan lulusan S1/D4.
“Dilihat dari datanya, sebagian besar pengangguran kita adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan, yang telah meninggalkan pendidikan,” jelasnya saat ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, seperti dilansir CNBC Indonesia.
Penyebab lainnya, kata dia, adalah belum adanya kesesuaian antara pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja. Mereka juga merupakan lulusan sekolah menengah atas/sekolah kejuruan yang berkontribusi terhadap salah satu tingkat pengangguran kaum muda tertinggi di negara ini.
Melihat tren tersebut, Ida mengatakan pemerintah akan terus mendorong pendidikan dan pelatihan kerja untuk mengimbangi pasar tenaga kerja.
Lalu apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah pengangguran Generasi Z?
Ekonom Pusat Reformasi Ekonomi (KOR) Yusuf Randi Manelet berpendapat pemerintah harus mencari solusi untuk mengurangi pengangguran, khususnya pengangguran kaum muda, yang saat ini dinilai memiliki proporsi yang relatif besar.
Untuk mencari solusinya, kata dia, pemerintah harus mengetahui terlebih dahulu kelompok dengan tingkat pendidikan mana yang mendominasi karakteristik pengangguran di Indonesia. Menurut dia, proses identifikasi ini penting karena akan berkaitan dengan upaya pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja.
Artinya, jika karakteristik angkatan kerja dan pengangguran kita saat ini berada pada jenjang pendidikan menengah ke bawah, maka pemerintah harus fokus mencari sektor usaha yang dapat memenuhi kebutuhan angkatan kerja kita sesuai karakteristik tersebut, kata Yusuf kepada CNNIndonesia. com, Rabu (29/5).
“Contohnya, salah satu sektor yang berpotensi untuk diselesaikan adalah industri manufaktur, karena secara umum hambatan masuk industri manufaktur relatif rendah dibandingkan misalnya sektor jasa,” lanjutnya.
Oleh karena itu, kata dia, cocok dengan dunia kerja yang saat ini didominasi oleh masyarakat yang berpendidikan SMA ke bawah.
Oleh karena itu, kerja sama kebijakan untuk mendorong perkembangan industri manufaktur merupakan hal yang patut dilakukan pemerintah, terutama di masa Indonesia masih berada dalam bonus demografi.
Padahal, pemerintah sudah memiliki program Kartu Prakerja yang salah satu tujuannya adalah untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja Indonesia.
Namun program ini harus diimbangi dengan upaya pemerintah dalam menciptakan lapangan kerja.
Artinya, ketika mereka dididik untuk memasuki dunia kerja, lapangan kerja itu sendiri harus ada, dan kebijakan penciptaan lapangan kerja ini biasanya bisa dilakukan dengan mendorong lebih banyak investasi, jelasnya.
Ia berharap pemulihan investasi ini terkait dengan investasi riil di sektor industri manufaktur, khususnya yang merupakan pekerja.
Yusuf mencatat, pekerjaan rumah pemerintah antara lain mendorong penciptaan lapangan kerja dan meningkatkan keterampilan tenaga kerja Indonesia saat ini.
Ia menilai program Piagam Prakerja dapat bermanfaat, khususnya dalam memberikan pelatihan yang diperlukan bagi mereka yang ingin memasuki dunia kerja.
Namun, ia meyakini program tersebut tidak bisa berdiri sendiri sehingga harus diimbangi dengan upaya investasi untuk mendorong penciptaan lebih banyak lapangan kerja.
Jika PR ini gagal, menurutnya, Indonesia akan kehilangan momentum, apalagi dalam memanfaatkan masa bonus demografi saat ini.
“Saat kita berada pada masa bonus demografi atau masa lalu, struktur piramida penduduk lanjut usia akan relatif besar dan tentunya akan menjadi beban tersendiri bagi upaya pemerintah dalam menciptakan atau meningkatkan kesejahteraan sosial,” kata Yusuf. dikatakan.
Bersambung ke halaman berikutnya…
Tinggalkan Balasan