Jakarta, Indonesia —
Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menanggapi penolakan ormas seperti Konferensi Waligereja Katolik Indonesia (KWI) yang menerima karpet merah pengelolaan pertambangan oleh pemerintahan Jokowi.
“Yang jelas kita akan tawarkan, tentu ada yang tidak mau, kita mau berikan ini kepada mereka yang mau, kalau mereka tidak mau, apa yang akan kita lakukan, berarti mereka tidak mau. kepada mereka yang membutuhkan,” katanya dalam konferensi pers. Perjanjian di Batavia Selatan, Jumat (7/6).
Para pembantu Presiden Joko Widodo menegaskan Indonesia adalah negara demokratis. Oleh karena itu, Bahlil menegaskan untuk menghormati perbedaan yang muncul.
Namun Bahlil mengatakan penolakan tersebut karena kendala komunikasi. Ia mengatakan, penolakan merupakan hal yang lumrah karena baru-baru ini muncul jalur Kereta Merah yang dikunjungi Presiden Jokowi menuju lembaga keagamaan.
Hal ini seiring dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang perubahan PP No. 96 Tahun 2021 dalam Penyelenggaraan Kegiatan Pertambangan dan Penggalian yang diumumkan secara resmi pada tanggal 30 Mei 2024.
“Kalau ditanya siapa yang menolak atau mengaku, ya. Kalau menolak, tidak apa-apa, kami takut. Tapi perasaannya tidak ada masalah yang harus diselesaikan, semua akan selesai dengan komunikasi yang baik.” jelas Bahlil.
“Mungkin permasalahan yang kurang dijelaskan, nanti akan kami jelaskan,” imbuhnya.
Beberapa organisasi jamu mewaspadai karpet merah yang dibentangkan Jokowi untuk membuang ranjau tersebut.
Salah satu diantara mereka; muhammadiyah. Ketua Tabligh PP Muhammadiyah, Komunitas Dakwah, Pesantren dan Pembinaan Haji-Umrah, Saad Ibrahim mengatakan, izin Presiden Jokowi merupakan hal baru.
Ditegaskannya, Pimpinan Muhammadiyah juga sudah membahas secara mendalam sisi positif, negatif, dan kemampuan menerima usulan tersebut
Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin meragukan hal tersebut. Dia mengatakan, konsesi tersebut merupakan izin pertambangan khusus (WIUPK).
Bahlil yakin bisa menjelaskan dengan baik kepada Din Syamsuddin dan jajaran PP Muhammadiyah soal usulan tersebut.
“Pak Din tetaplah sesepuh saya, kakak kita, guru bangsa, kalau dijelaskan dengan baik pasti bisa,” ujarnya yakin.
Di sisi lain, Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian, Migran dan Imigran serta Keutuhan Ciptaan KWI Marthen Jenarut mengatakan, KWI hanya terkait dengan fungsi kerasulan diakonia (pelayanan), kerygma (dakwah) . liturgi (ador.), dan kemartiran (semangat nabi). Ia mencontohkan, KWI didirikan pada tahun 1927 sebagai lembaga keagamaan.
Bahlil pun acuh tak acuh menanggapi bantahan yang muncul dari organisasi keagamaan termasuk KWI.
“Kalau saudara-saudara dari organisasi mana pun, memang rasa hormatnya mungkin belum, memang seperti yang saya harapkan nanti kita komunikasikan dan pertanggung jawaban,” jelasnya.
“Saya kira kalau kita melakukan segala sesuatunya dengan baik dan niat, Insya Allah itu adalah kehidupan yang wajar, demokratis. Jangan sampai perbedaan-perbedaan kita memisahkan kita di jalan kebaikan,” pungkas Bahlil.
Baru-baru ini, Ketua Umum Persatuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Gomar Gultom memastikan PGI juga akan mengkaji ulang proses pemerintah yang mengizinkan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan mendapatkan mineral. Pasalnya, PGI tidak memiliki kapasitas di bidang pertambangan dan tidak berperan dalam organisasi tersebut.
“Tetapi yang jelas persoalan pertambangan ini bukan berada di kementerian PGI dan tidak termasuk dalam wilayah ini. Ini sama sekali di luar amanah PGI,” kata Gomar dalam keterangan terbarunya, Kamis (6/6). .
Gomar mengklarifikasi pendapat para mantan yang menilai Presiden Jokowi memutuskan memberikan izin pertambangan kepada lembaga keagamaan. Dia meminta pernyataan itu tidak bisa diartikan bahwa PGI ingin ikut serta dalam pemerintahan saya.
Ia kemudian mendesak lembaga-lembaga keagamaan untuk mewujudkan pembangunan umat.
“Kami tentu menghormati keputusan lembaga keagamaan yang memanfaatkan kesempatan yang ada dalam Perpres tersebut. Dalam kaitan itu, saya yakin Perpres tersebut mengingatkan kita untuk perlu berhati-hati,” ujarnya.
Selain itu, Gomar juga menyinggung peran PGI yang kerap aktif membantu korban pertambangan.
“Jika PGI menjadi calon pengusaha pertambangan, maka PGI akan menghadapi dirinya sendiri di masa depan dan kehilangan banyak legitimasi moral,” imbuhnya.
Catatan Redaksi: Redaksi mengubah judul artikel ini pada Jumat (7/6) karena adanya informasi dan pembaruan.
(Minggu/Agustus)
Tinggalkan Balasan