Menu

Mode Gelap

Nasional · 29 Jun 2024

Potensi Rusak Logika Hukum & Nirkualitas Pilkada di Putusan Batas Usia


					Potensi Rusak Logika Hukum & Nirkualitas Pilkada di Putusan Batas Usia Perbesar

Jakarta, jurnalpijar.com —

Mahkamah Agung (MA) tentang Batasan Usia Minimal Calon Kepala Daerah (Kakkada) Keputusan No. 23 terbit P/HUM/2024.

Perkara tersebut diputus pada Rabu, 29 Mei 2024 oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Julius sebagai ketua, Sera Pangun I dan Yodi Martono Vahunadi sebagai anggota II. Untuk itu, Sera Bangun mempunyai pendapat berbeda, yakni pendapat sebaliknya. , mendesak Dewan untuk menolak banding tersebut.

Dengan Keputusan ini Nomor Tahun 2020 tentang Pengangkatan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Bupati dan Wakil Bupati. Mahkamah Agung berpendapat bahwa ayat 4 (1) huruf g Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Tahun 9 /atau Walikota dan Wakil Walikota melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Nomor PKP tentang pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota. Mahkamah Agung memerintahkan KPU RI membatalkan ayat (1) huruf g angka 9.

Mahkamah Agung menginginkan usia minimal 30 tahun sejak tanggal pengangkatan pasangan calon diubah menjadi “setelah pelantikan calon”.

Namun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Tahun 2023 tentang Syarat Usia Minimal Calon Presiden dan Wakil Presiden. Putusan Mahkamah Agung ini mendapat perhatian karena dianggap salinan tahun 90-an. Publik bahkan menilai putusan MA tersebut sebagai “déjà vu” atas keputusan Mahkamah Konstitusi yang mempertahankan putra presiden itu selamanya dalam kursi kekuasaan.

Jika keputusan Mahkamah Konstitusi membuka jalan bagi putra sulung Presiden Indonesia Gibran Rakabuming Rakah untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2024, maka keputusan Mahkamah Agung tersebut diharapkan dapat membuka jalan bagi anak Jokowi lainnya, yaitu adik Kesang Bangarep. Ikut serta dalam Pilkada 2024.

Kesung saat ini berusia 29 tahun dan akan berusia 30 tahun pada tanggal 25 Desember. Sedangkan pemungutan suara Pilkada 2024 akan dilakukan pada 27 November.

Lantas, apakah putusan MA tentang usia kepala daerah wajib melaksanakan Pilkada 2024? Bagaimana seharusnya sikap CPSU?

Hertiansia Hamzah, pakar hukum tata negara Universitas Mulavarman, mengatakan putusan MA no. 23 menegaskan P/HUM/2024 tidak akan dilaksanakan.

PKB Tahun 2020 No. Hertiansya menjelaskan, keputusan MA yang mengubah aturan pada Pasal 9 bertentangan dengan aturan payung, UU Pilkada. Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menyatakan tentang pemilu daerah:

“Calon walikota dan wakil walikota, calon bupati dan wakil walikota, serta calon walikota dan wakil walikota, usia minimal yang ditentukan pada ayat (1) harus 30 (tiga puluh tahun) calon gubernur dan calon wakil gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun bagi Calon Bupati dan Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Wakil Walikota.

Haidia mengatakan, pasal dalam UU Bilkina jelas menggunakan kata “calon” untuk menjelaskan bahwa usia minimal dalam UU bagi seorang calon atau terdaftar/partai politik yang terdaftar di KPU adalah 30 tahun. km

Oleh karena itu, Hertiansya berkesimpulan putusan MA bertentangan dengan undang-undang pilkada.

Dikatakannya, asas lex superior derogat legi inferiori dikenal dalam logika hukum, artinya “peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.”

Oleh karena itu, dalam situasi seperti ini kita harus tunduk pada peraturan hukum yang lebih tinggi, dalam hal ini UU Pilkada, kata Herdiancia kepada CNNIndonesia.com, Rabu (5/6).

Ia pun menyarankan agar KPU mengabaikan putusan MA yang mengutip UU Pilkada. Dia mengatakan, aturan yang disiapkan dalam PKP selama ini sesuai undang-undang pilkada.

Oleh karena itu, putusan MA bisa diabaikan oleh KPU, artinya tidak perlu dilaksanakan, ujarnya.

Menurut Hertiansya, jika KPU mengikuti putusan MA dan mengabaikan undang-undang pilkada, berarti logika hukum lembaga penyelenggara pemilu di Indonesia telah terkompromikan.

KPU tidak bisa berargumentasi bahwa keputusan MA tersebut bersifat final dan mengikat sehingga Hertiansya berpendapat keputusan tersebut harus dilaksanakan. Bahkan, Gertiansya menilai putusan MA itu bermasalah.

“Pemikiran CPSU harus diperiksa setelah ada keputusan MA atau perubahan norma sesuai UU Pilkada,” ujarnya.

“Kalau undang-undang pilkada pada tingkat yang sangat tinggi diabaikan, pasti salah. Ini akan merusak pemikiran hukum CPSU,” imbuhnya.

Baca halaman berikutnya.

Artikel ini telah dibaca 5 kali

badge-check

Penulis

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Lainnya

Walkot Ajak Anak Muda Semarang Jadi Agen Ketahanan Pangan

6 November 2024 - 03:15

Muhadjir Kunjungi Brazil Belajar Program Makan Siang Gratis

5 November 2024 - 19:15

MKD Panggil Redaksi Tempo soal Berita Suap Kuota Haji di DPR

5 November 2024 - 13:16

Trending di Nasional