Jakarta, jurnalpijar.com.
Kelompok agama memberikan tanggapan beragam terhadap sikap pemerintahan Joko Widodo yang memberikan izin pengelolaan pertambangan. Rencana tersebut tertuang dalam Kebijakan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendapat respons positif. PBNU memuji Jokowi yang mengizinkan organisasi keagamaan mengelola sumber daya alam. Mereka berterima kasih kepada Jokowi.
“Kebijakan ini merupakan langkah berani dan langkah maju yang penting untuk memperluas penggunaan sumber daya pemerintah agar lebih bermanfaat langsung bagi rakyat,” kata Ketua Umum PBNU Yahya Cholil Staquf dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/3). ).
PBNU juga menegaskan kesediaannya untuk berperan aktif dalam pengelolaan pertambangan, menjanjikan transparansi dan akuntabilitas dalam operasional usahanya.
Berbeda dengan PBNU, Muhammadiyah mengaku masih perlu mengupayakan kebijakan Jokowi. Muhammadiyah menekankan pentingnya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap hasil dan dampak di berbagai tingkatan terkait pengelolaan pertambangan.
“Muhammadiyah tidak akan mengambil tindakan-tindakan yang mendesak untuk mengukur kekuasaan dalam pengelolaan pertambangan agar tidak menimbulkan permasalahan bagi organisasi, masyarakat, negara, dan negara,” kata Saad Ibrahim selaku salah satu Ketua PP Muhammadiyah.
Muhammadiyah menegaskan, keputusan akhir akan didasarkan pada kajian menyeluruh melalui konsultasi internal.
Respon yang lebih kuat datang dari Konferensi Waligereja Katolik Indonesia (KWI). Sebagai perwakilan resmi Gereja Katolik di Indonesia, KWI menolak hak istimewa pengelolaan tambang yang diberikan Jokowi kepada organisasi keagamaan.
Sekretaris Komisi Keadilan dan Perdamaian, Migran dan Keutuhan Ciptaan KWI, Marthen Jenarut mengatakan, Gereja Katolik selalu mendorong pengelolaan pembangunan sebagai prinsip berkelanjutan. KWI mengungkapkan keprihatinan mendalam mengenai konsekuensi etika dan lingkungan dari kebijakan ini.
“KWI senantiasa berpegang teguh pada prinsip diskresi agar segala tindakan dan keputusan yang diambil tidak bertentangan dengan prinsip operasional Gereja Katolik yang melindungi harkat dan martabat manusia, keadilan, persatuan, keutuhan, perdamaian/kebaikan umum dan menjaga keutuhan. dunia,” kata Marthen.
KWI menghimbau masyarakat untuk mempertimbangkan dampak jangka panjang kebijakan ini terhadap keberlanjutan ekologi dan kesejahteraan sosial, khususnya kelompok rentan.
Keprihatinan serupa juga diungkapkan oleh Persatuan Mahasiswa Katolik Nasional Indonesia (PMKRI) yang menyatakan keprihatinan atas dampak negatif kebijakan ini.
“Kami tidak ingin kemandirian PMKRI sebagai perusahaan mahasiswa, orientasi dan perjuangannya disatukan oleh transaksi bisnis pertambangan. Kami akan terus menghadapi dan mengkritisi berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh aktivitas perusahaan-pertambangan tersebut,” tegasnya. Ketua Presidium PP PMKRI Tri Natalia Urada dalam keterangan tertulisnya, Rabu (6/5).
Hal ini juga menunjukkan potensi konflik agraria dan ketidakmampuan kelompok agama mengelola tambang secara efisien dan berintegritas.
Namun Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) menawarkan sudut pandang yang sedikit berbeda. Mereka menyatakan dukungannya terhadap kebijakan tersebut. Mereka mendukungnya selama pemerintah memberikan perlindungan dan bimbingan yang memadai kepada kelompok agama yang terlibat.
Prinsipnya kami mendukung langkah pemerintah, yang penting adil dan merata, kata Direktur Kebijakan PHDI Suresh Kumar saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (6/3).
PHDI juga menekankan pentingnya memastikan tambang dikelola secara bertanggung jawab dan memperhatikan kelestarian lingkungan.
(rsc/DAL)
Tinggalkan Balasan