Jakarta, jurnalpijar.com —
Dunia usaha di Indonesia sedang bersiap menghadapi penerapan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBMA), atau peraturan pajak karbon yang diperkenalkan oleh Uni Eropa, yang akan dimulai pada Januari 2026.
Namun tidak hanya Eropa saja, banyak negara di luar Eropa juga akan menerapkan hal serupa.
Undang-undang pajak karbon mengharuskan produk yang dijual di Eropa diproduksi dengan cara yang menghasilkan lebih sedikit emisi karbon sehingga lebih ramah lingkungan. CBAM diterapkan sejalan dengan ambisi Eropa untuk mencapai nol emisi pada tahun 2050.
Industri semen di Indonesia terancam dampak pajak karbon. Produk semen Indonesia sebenarnya tidak diekspor ke Eropa.
Pasar utamanya adalah Bangladesh dan Australia. Tidak, Negeri Kanguru mengatakan akan menerapkan peraturan gaya CAM.
“Sekitar tiga minggu lalu kami diundang bertemu dengan perwakilan Australia dan kami juga diberitahu bahwa karena ada sistem emisi karbon, (sekarang) sistem yang sama seperti CBAM di Eropa akan digunakan di Australia. Kita perlu bersiap lebih cepat, kata Ketua Lilik Unggul Raharjo. Asosiasi Semen Indonesia (ASI) di jurnalpijar.com.
Kebocoran karbon merupakan proses peralihan pola produksi dari negara dengan peraturan karbon yang ketat ke negara dengan peraturan emisi yang lebih rendah. Tujuannya adalah agar perusahaan terus memproduksi produk tanpa memenuhi persyaratan undang-undang lingkungan hidup yang ketat.
Melalui undang-undang ini, pemerintah Australia mewajibkan produk yang dihasilkan oleh industri padat air, seperti semen, diproses menggunakan metode ramah lingkungan.
Australia akan menetapkan jumlah maksimum emisi karbon yang dapat dihasilkan oleh produsen. Jika syaratnya melebihi syarat tertentu, maka produk tersebut akan diimpor.
Lilik yang juga menjabat CEO produsen semen PT Bangan Solosi Indonesia (BSI) mengatakan, ASI sebelumnya diundang Kementerian Luar Negeri untuk memberikan akses terhadap hasil penerapan pajak karbon Eropa
Pajak karbon ini menyasar beberapa ekspor andalan Indonesia seperti semen, baja, aluminium, produk organik, dan nikel.
Australia, Indonesia banyak mengekspor klinker yang digunakan sebagai bahan pengikat semen.
“Kami telah diberitahu bahwa Australia telah menetapkan target emisi setara 717kg CO2/ton pada tahun 2026. Sementara itu, emisi kami saat ini berada dalam kisaran 830kg CO2/ton. Perjalanan kami masih panjang untuk menguranginya, Lilac menambahkan.
Jika gagal memenuhi target ekspor, Lilik mengatakan akan dikenakan pajak tambahan sebesar 2-3 dolar Australia per ton sehingga mengurangi keuntungan eksportir dan menjadikan produk Indonesia tidak kompetitif.
Konsekuensi serius
Sejak diumumkan sebagai rencana dekarbonisasi di Eropa, peraturan pajak karbon telah menuai protes dari beberapa pengecer terkemuka.
Tiongkok dan India telah mengajukan gugatan terhadap aturan CBAM ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena melanggar prinsip perdagangan bebas dengan tetap mempertimbangkan prinsip diskriminasi antara negara maju terhadap negara berkembang.
Selain berdampak pada industri semen, sistem pajak karbon juga akan berdampak pada industri konstruksi baja di Indonesia.
Menurut Pusat Kebijakan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag), hanya enam dari seluruh produk baja Indonesia yang masuk ke Eropa saat ini yang dikenakan tarif sebesar 0,85-3,5 persen per ton. Penerapan pajak karbon dapat meningkatkan pendapatan Indonesia dari produk baja hingga lebih dari 16 persen.
“Dampaknya sangat buruk, barang-barang kita bisa menjadi lebih mahal dan sulit bersaing di pasar. Makanya kita aktif mendorong industri untuk mengubah aktivitasnya dari praktik industri tinggi karbon ke praktik industri hijau,” ujarnya. katanya.
“Gunakan yang sederhana saja dulu. Misalnya mengganti bahan bakar ke biodiesel, menggunakan mobil listrik, memasang panel surya untuk energi surya. Relatif mudah,” tambah Lillick.
Seruan untuk mengubah model bisnis dari energi fosil ke energi hijau mulai mendapat momentum di Indonesia, kata General Manager Energi Terbarukan ESDM Ania Listiani.
Namun, banyak sektor industri seperti semen mengeluh bahwa tidak ada cukup insentif untuk mengalihkan operasi mereka ke metode rendah karbon.
Selain permintaan insentif berupa subsidi untuk peningkatan kinerja lingkungan, Enya mengatakan banyak perusahaan yang mempertimbangkan sumber energi baru untuk menggantikan bahan bakar fosil dan batu bara yang semakin langka.
(dsf/dsf)
Tinggalkan Balasan