Jakarta, jurnalpijar.com —
Ketua komisi
Huda mengatakan, pernyataan Tatjak justru memperkuat anggapan bahwa pendidikan tinggi hanya diperuntukkan bagi kalangan elite dan kelompok tertentu.
“Bagi kami, pernyataan ini memperkuat anggapan bahwa masyarakat miskin tidak boleh bersekolah. Kampus ini elit dan hanya diperuntukkan bagi mereka yang mampu membayar biaya kuliah,” kata Huda, Sabtu (18/5).
Huda Tjitjik salah memahami pernyataan Tjitjik tentang ilmu, padahal itu benar. Pasalnya, Tjitjik melakukan hal tersebut sebagai PNS yang membidangi pendidikan tinggi dan menanggapi protes kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa perguruan tinggi negeri (PTN).
“Jika ini merupakan respons terhadap protes kenaikan UST, tentu akan sangat menyedihkan,” kata Hooda.
Huda berpendapat, dengan ditetapkannya perguruan tinggi sebagai jenjang ketiga, pejabat senior Kementerian Pendidikan dan Teknologi bisa memberi sinyal bahwa pemerintah jauh dari nasib mereka yang tidak punya uang tapi ingin belajar.
Padahal, kata dia, pemerintah telah menegaskan keinginannya untuk mewujudkan “Indonesia Emas 2045” dan memanfaatkan bonus demografi agar terhindar dari bencana demografi.
“Namun ketika ada keluhan dari pelajar dan masyarakat mengenai mahalnya biaya pendidikan, sepertinya mereka ingin putus sekolah,” ujarnya.
Menurut politikus PKB ini, akses mahasiswa terhadap pendidikan tinggi di Indonesia tergolong rendah. Berdasarkan data BPS tahun 2023, total angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia masih sebesar 31,45 persen.
Angka tersebut disusul Malaysia sebesar 43%, Thailand sebesar 49%, dan Singapura sebesar 91%.
“Salah satu faktor rendahnya angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia adalah masalah biaya,” kata Huda.
Di sisi lain, Huda menyebut anggaran pendidikan di Indonesia setiap tahunnya relatif besar dan menyumbang 20 persen belanja wajib APBN. Menurut dia, APBN menganggarkan anggaran pendidikan sebesar Rp665 triliun pada tahun ini.
Menurutnya, besarnya kenaikan UKT perguruan tinggi negeri yang banyak dikeluhkan mahasiswa, apakah memang ada kesalahan pengelolaan anggaran pendidikan kita atau ada faktor lain.
Menurut dia, saat ini komisi
Satgas ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi perbaikan pengelolaan anggaran pendidikan, pola alokasi, penetapan mata pelajaran sasaran, dan jenis program.
“Kami berharap rekomendasi Komisi Pendidikan dapat menjadi acuan penyusunan RABPN tahun 2025,” ujarnya.
Sebelumnya, Tjitjik mengatakan perguruan tinggi atau pendidikan tinggi merupakan pendidikan menengah, yakni pilihan yang tidak termasuk dalam wajib belajar 12 tahun (SD-SMA).
Tjitjik mengatakan, karena sifatnya yang diskresi, pemerintah tidak memprioritaskan pendanaan untuk pendidikan tinggi. Sebaliknya, pemerintah fokus pada wajib belajar 12 tahun.
“Karena ini universitas, apa konsekuensinya?” “Pendanaan negara fokus pada pendidikan, prioritas diberikan pada pendanaan wajib belajar,” ujarnya.
Meski demikian, Tjitjik menegaskan pemerintah tidak akan melepasnya dan akan tetap mendanainya melalui Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN). Namun jumlah tersebut belum termasuk biaya pendidikan (BKT), selebihnya ditanggung UKT masing-masing mahasiswa.
Mahalnya biaya UKT disebabkan oleh biaya operasional yang dikeluarkan PTN. Biaya tersebut meliputi alat tulis (APC), gaji dosen non Pegawai Negeri Sipil (PNS), biaya praktek, biaya ujian dan biaya skripsi.
“Biaya perkuliahan itu perlu alat tulis, PC, perawatan, lalu dosennya harus menyajikan minuman, harus bayar. Apakah dosen itu benar-benar gratis?” katanya. (blk/Agustus)
Tinggalkan Balasan