Yogyakarta, jurnalpijar.com —
Dinas Pendidikan dan Olahraga (Disdikpor) Pemda DIY menyikapi 39 siswa difabel di wilayahnya yang tahun ini tidak masuk SMA Negeri karena sistem PPDB.
Kepala Departemen Penerapan Teknologi Bagi Penyandang Disabilitas (ULD) Pusat Sumber Daya dan Pendidikan Disdikpora Yogyakarta Aris Widodo mengatakan, memang ada perbedaan antara proses penerimaan peserta didik tahun lalu dan saat ini. Ia juga mengakui terdapat kelemahan dalam proses penerimaan penyandang disabilitas di PPDB SMA Negeri tahun ini.
Aris mengatakan, tahun ini siswa tidak mengikuti PPDB SMP tanpa disabilitas, karena dengan sistem yang benar secara online, jika mereka memilih tiga sekolah dan memilih sesuai jarak dan ketiga sekolah tersebut persentasenya besar, maka langsung diturunkan. di luar
Aris di kantor SIGAB mengatakan, “Saat mereka minta registrasi, dipilih 3 sekolah, lalu mereka menerbitkan dokumen, persyaratan, evaluasi, dilampirkan besaran C1, kami kirimkan ASPD ke ULD, tapi yang jelas kami tidak melakukannya. “
“Kami baru memeriksa apakah kondisi ini ada, ada, ada, dan begitu dia masuk sistem, dia tidak bisa mengundurkan diri, sampai opsi ketiga lolos, selesai.”
“Setelah mereka dipastikan masuk ke sistem online, mereka tidak bisa mengubah pilihannya. Jika mereka mengubah pilihan, berarti mereka mundur. Jika mundur, mereka tidak akan bisa mengakses sistem internet di seluruh kota.
Saat ini, dalam beberapa tahun terakhir, klaim Aris, seluruh pemohon sertifikasi disabilitas sudah bisa diterima dan disebar ke seluruh SMA Negeri di Kota Yogyakarta karena PPDB masih menggunakan cara manual, atau belum online.
Berbeda dengan tahun ini yang siswa hanya bisa memilih tiga sekolah, pada PPDB tahun-tahun sebelumnya mereka bisa memilih asalkan diterima di salah satu dari 16 sekolah negeri se-Yogyakarta.
“Ini (rencana tahun) iya, tapi pelaksanaannya dipertimbangkan daerah. Tadinya kita adakan persetujuan disabilitas, diskusi dengan orang tua, dimanapun mereka mau, sekarang kita pakai sistem tidak bisa bertanya, masuk saja.
Aris mengatakan, dari 39 siswa, 9 diantaranya bersekolah di SMA swasta. Sisanya masih menganggur dan tidak bersekolah.
Disdikpora, lanjut Aris, sebaliknya sulit menerima 39 siswa melalui sistem PPDB yang sudah tertutup karena tahapannya sudah selesai.
Ia menambahkan, “Kalau ditutup ya, Itu saja. Kalau dibuka kembali pasti ada kebijakan baru, yang sebenarnya kebijakan, berbeda dengan sistem PPDB online.”
Selain sistem PPDB yang tertutup, menurut Aris, Disdikpora juga tidak ingin menimbulkan kecemburuan di antara 9 siswa yang masuk ke sekolah swasta, jika jalan ke SMA Negeri tersebut dibuka.
Maka Disdikpora memberikan solusi bagi para siswa tersebut untuk bersekolah di sekolah swasta dan mereka diberikan jaminan pendidikan daerah (JPD) sebesar 4 juta, kebutuhan pribadi sebesar 1 juta, dan kegiatan sekolah sebesar 3 juta DR.
“Saat ini, jika kita membatalkan (UU tersebut) dan anak-anak kembali ke negara, sekolah swasta akan dihancurkan,” ujarnya.
Di Kota Yogyakarta, 39 siswa penyandang disabilitas tidak bisa masuk sekolah negeri karena sistem PPDB SMA Negeri melalui asesmen disabilitas yang diterapkan tahun ini. Kelompok Advokasi Inklusi dan Disabilitas Indonesia (SIGAB) pada Jumat (5/7) menyebutnya sebagai yang terburuk dalam sejarah pendidikan publik.
Program Officer SIGAB, Ninik Heca menjelaskan, 39 anak ini tidak bersekolah di SMA Negeri, karena sistem PPDB membuat setiap siswa tidak bisa memilih 3 sekolah tertinggi.
Padahal, tahun lalu setiap siswa mendapat akses ke 16 SMA di kota Yogyakarta.
Karena sistem baru ini, sebenarnya ada 4 sekolah yang jumlah siswa penyandang disabilitasnya tidak mencukupi. Terdapat empat sekolah yaitu SMPN 1, SMPN 5, SMPN 8, dan SMPN 15.
Nik menjelaskan, nomor pendaftaran PPDB SMP Negeri untuk proses penerimaan peserta difabel sebanyak 179 peserta dengan total kursi sebanyak 173 orang. Setelah dilakukan seleksi berdasarkan jarak, maka yang diterima sebanyak 140 orang, sehingga masih terdapat 33 beasiswa dari empat perguruan tinggi.
(terakhir/terakhir)
Tinggalkan Balasan