Jakarta, jurnalpijar.com –
Wakil Menteri Pertanian Sudaryono menegaskan, rencana pencetakan sawah baru tidak serta merta membuka kawasan hutan.
Pencetakan beras juga menyasar lahan “mati” di dekat irigasi, seperti rawa, katanya.
“Saya tegaskan, apa yang disebut pencetakan sawah bukanlah apa yang kita capai, satu juta hektar hutan masih ditebang,” kata Sudaryono di kantor Kementerian Pertanian (Kementan) Jakarta, Rabu. (25/9).
Ia lantas mencontohkan program pencetakan lapangan Padi di Kalimantan Tengah yang dilakukan di lahan dekat irigasi. Tanah ini merupakan tanah “mati” dan sulit diolah karena mengandung pirit.
Pirit merupakan mineral tanah FeS2 yang sering ditemukan di rawa. Pirit yang terletak di balik lapisan gambut basah atau tanah mineral aman bagi tanaman.
Namun pirit jika dibiarkan dan terkena udara akan sangat berbahaya karena akan teroksidasi. Proses ini menyebabkan keasaman tanah tinggi.
Kementerian Pertanian mengklaim berhasil mengatasi situasi tersebut. Dengan begitu, kesan sawah bisa tercipta.
“Kami mengolah sawah. Kemudian dikelola oleh masyarakat pemilik tanah tersebut. Bukannya kita datang untuk melihat hutan liar, kita menebangnya. Bukan seperti itu,” jelas Sudaryono.
Pada kesempatan lain, Sudaryono membeberkan alasan pemerintah membuat sawah baru. Menurut dia, pencetakan padi harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat.
Ia mengatakan pencetakan sawah merupakan solusi nyata menjaga ketahanan pangan nasional dalam menghadapi pertumbuhan penduduk.
“Tanpa mencetak sawah, kita makan apa? Coba bayangkan populasi kita bertambah, masyarakat makan semakin banyak, dan sawah kita semakin mengecil,” ujarnya.
Ia pun mengakui, intensifikasi lahan sudah dilakukan. Namun perluasan, khususnya pencetakan padi, juga harus diupayakan.
Selain mencetak sawah, pemerintah juga menjalankan program optimalisasi lahan basah untuk meningkatkan produksi.
Pada September 2024, pelaksanaan proyek ini mencapai 95 persen dari target indikator penggarapan lahan seluas 40 ribu hektare di Kabupaten Meruke, Papua Selatan.
Sudaryono mengatakan, mekanisme optimalisasi lahan basah ini memanfaatkan mekanisasi pertanian seperti drone, traktor, mesin pemanen dan penggunaan benih unggul, serta bantuan pemerintah yang intensif.
“Jika berhasil, kami memperkirakan Indonesia bisa mengalami surplus beras dalam jumlah besar. Oleh karena itu, kita harus mencetak sawah karena mau tidak mau kita kehilangan sawah setiap tahunnya,” kata Sudaryono.
(mrh/pta)
Tinggalkan Balasan